Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia mengingatkan Indonesia untuk peka terhadap potensi penyakit Belanda. Penyakit ini merupakan kondisi dimana booming komoditas justru menimbulkan dampak buruk jangka panjang bagi perekonomian negara.
“Ketergantungan pada komoditas membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan penyakit Belanda,” kata Bank Dunia dalam laporan bertajuk “Trade for Growth and Economic Transformation” yang diluncurkan pada 15 Desember 2022.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan Ekonom pada tanggal 26 November 1977. Majalah mingguan tersebut menganalisis dampak penemuan cadangan gas alam di Groningen pada tahun 1959 terhadap perekonomian Belanda.
Meski nilai ekspor migas meningkat, kontribusi hasil industri Belanda mengalami stagnasi sejak tahun 1974. Akibatnya, perekonomian Belanda menjadi sangat bergantung pada komoditas. Lapangan kerja di sektor industri manufaktur juga semakin berkurang.
Kurang dari sepekan sejak laporan Bank Dunia dirilis, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pelarangan ekspor bauksit mulai Juni 2023. Sebelumnya, Indonesia telah melarang ekspor mineral bijih nikel mentah pada 2020 yang berujung pada gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Bukan Diagnosis Baru
Ini bukan pertama kalinya Indonesia didiagnosa penyakit Belanda. Mengutip data Bank Dunia, nilai tambah industri manufaktur Indonesia turun tajam sejak 2022. Dari 32% total produk domestik bruto (PDB) pada 2022 menjadi 19% pada 2021.
Haryo Aswichahyono, Hal Hill, dan Dionisius Narjoko (2011) memaparkan persoalan ini dalam artikel berjudul “Industrialisasi Indonesia: Seorang Pendatang Baru yang Menyesuaikan Diri dengan Krisis”. Salah satu penyebab merosotnya kinerja industri pengolahan pada awal milenium kedua adalah minimnya pabrik baru yang masuk ke dalam industri tersebut.
Krisis ekonomi yang memuncak pada 1997-1998, menutup banyak pabrik. Meski ekonomi mulai pulih pada 2004, pembangunan pabrik baru tidak sesuai dengan situasi sebelum krisis.
“Padahal pertumbuhan ekonomi saat itu terus positif dalam empat tahun terakhir,” kata mereka.
Perubahan tren manufaktur di Indonesia juga terlihat dari perubahan penyumbang ekspor terbesar. Pada tahun 2002, bahan bakar mineral merupakan komoditas utama. Namun, produk manufaktur seperti mesin dan peralatan berada di urutan kedua.
Komposisi penyumbang ekspor terbesar ini berubah drastis pada 2020. Bahan bakar mineral tetap menjadi andalan. Namun, produk minyak hewani dan nabati (termasuk minyak sawit) menempati urutan kedua. Nilainya bahkan mendekati bahan bakar mineral.
Pemerintah tidak mengabaikan masalah ini. Presiden Joko Widodo berkali-kali menyoroti masalah yang disebutnya sebagai “jebakan eksportir bahan mentah”.
“Masa keemasan komoditas bahan baku sudah berakhir, dan kita harus berani mengubah struktur ekonomi yang selama ini berbasis komoditas untuk masuk ke hilir,” ujarnya saat meresmikan pabrik sel baterai listrik di Karawang, 15 September 2021.
Jokowi yang akrab disapa Presiden Joko mengatakan fase selanjutnya setelah hilirisasi adalah Indonesia memasuki industrialisasi. Bukan hanya nilai tambah, industrialisasi membebaskan Indonesia dari ketergantungan pada produk impor.
Apakah Larangan Ekspor Solusinya?
Salah satu langkah pemerintah untuk “memaksa” keberadaan industri pengolahan adalah larangan ekspor bahan mentah. Pada tahun 2014, Indonesia pertama kali melarang ekspor mineral mentah termasuk bijih nikel dan bauksit.
Peraturan ini memaksa perusahaan pertambangan di Indonesia untuk membangun fasilitas pemurnian atau peleburan mineral. Setelah dilonggarkan pada 2017, ekspor bijih nikel kembali dilarang pada 2020.
Uni Eropa keberatan dengan larangan tersebut dan menantangnya di WTO. Meski pada akhirnya merugi, larangan ekspor tersebut membuktikan bahwa hilirisasi nikel lebih menguntungkan bagi Indonesia.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan jumlah smelter nikel meningkat sejak pelarangan. Dari hanya tiga smelter yang beroperasi pada 2014 menjadi total 15 saat ini.
Nilai ekspor nikel Indonesia juga meningkat pesat. Produk olahan nikel seperti feronikel, besi nikel babidan nikel matte memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari mineral biasa.
Pada 2017, Indonesia mengekspor produk olahan nikel senilai US$2 miliar. Nilai ekspor ini akan meningkat lebih dari 4 kali lipat menjadi US$8,4 miliar pada tahun 2021.
Kisah sukses hilirisasi nikel ini sepertinya ingin terulang lagi dengan pelarangan ekspor bauksit. Jokowi menilai hilirisasi bauksit dapat melipatgandakan penerimaan negara dari mineral tersebut mulai sekarang.
Bauksit adalah bahan baku aluminium. Sebelum menjadi aluminium, bauksit terlebih dahulu diolah menjadi alumina. Saat ini produksi alumina Indonesia belum optimal, karena sedikitnya jumlah peleburan bauksit yang beroperasi.
Indonesia hanya memiliki tiga smelter bauksit. Jumlah smelter yang sedikit membuat ekspor alumina Indonesia lebih rendah dari bauksit mentah.
Pada 2021, Indonesia mengekspor bijih bauksit senilai US$628,2 juta. Sedangkan nilai ekspor alumina hanya US$435,9 juta.
Lebih banyak peleburan dapat memaksimalkan nilai ekspor bauksit dan turunannya di Indonesia. Nilai ekspor alumina akan mencapai US$0,32 per kilogram pada 2021. Nilai tersebut 10 kali lipat dari bijih bauksit yang nilai ekspornya hanya US$0,03 per kilogram.
Pemerintah menargetkan tambahan sembilan smelter bauksit yang beroperasi untuk menyerap produksi bijih bauksit dalam negeri pada 2023. Namun, Asosiasi Industri Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menilai target itu tidak mudah dicapai.
Pj Ketua Harian APB3I Ronald Sulistyanto mengatakan, pendirian sembilan smelter membutuhkan dana besar. Menurut dia, mencari sumber pembiayaan atau pinjaman untuk pembangunan smelter akan sulit.
“Cuma pemerintah yang belum selesai, apalagi swasta. Rata-rata masih 23% dan 25%. Mungkin hanya Antam yang bisa menyelesaikannya,” katanya seperti dikutip Katadata, Jumat 23 Desember 2022.