Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa air minum. Karena pentingnya, air sering digunakan sebagai analogi dalam peribahasa. Misalnya, “air diminum dengan rasa duri, nasi dimakan dengan rasa sekam” atau “jelatang di hulu”. Hal ini sepertinya karena air mudah didapatkan di Indonesia, sehingga mudah dibayangkan.
Meski memiliki peran penting, air bukanlah barang mewah bagi banyak orang, terutama di pedesaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 95,51% rumah tangga perkotaan akan memiliki akses air minum yang layak pada tahun 2022. Sementara di perdesaan persentasenya hanya 84,93%.
Angka itu sebenarnya berlipat ganda dari 13 tahun sebelumnya. Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang layak tercatat sebesar 42,51% di perkotaan dan 45,85% di pedesaan pada tahun 2010.
Sedangkan sumber air minum yang layak antara lain air minum dalam kemasan (BWD), pipa atau keran, sumur bor dan parit terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan, dan PDAM.
Namun, tujuan akhir pemerintah bukan terletak pada perluasan akses terhadap sumber air minum yang layak. Air juga harus aman untuk diminum dan dikonsumsi masyarakat. Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa air minum yang aman dapat diakses melalui sumber air minum yang layak yang selalu ada di dalam rumah dan bebas dari kontaminasi.
Berdasarkan Environmental Performance Index (EPI), kualitas air minum Indonesia mendapat skor 24,9 pada tahun 2022. Skor ini menempatkan Indonesia pada peringkat 132 dari total 180 negara yang dinilai. Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki skor terendah.
Indeks yang dikeluarkan oleh Universitas Yale ini mengukur kualitas air dengan jumlah tahun kehidupan yang hilang akibat paparan air minum yang tidak aman. Skor 100 menunjukkan suatu negara memiliki air paling murni dan paling tidak tercemar. Sebaliknya, semakin mendekati skor 0 berarti kualitas air di negara tersebut semakin buruk.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tidak dianjurkan untuk meminum air langsung dari keran. Pipa air (pipa air) sebaiknya disaring atau direbus terlebih dahulu, baru aman untuk diminum. Faktanya, minum air ledeng adalah hal biasa di Singapura, dengan skor indeks 88,9.
Kementerian Kesehatan juga menemukan hal serupa. Laporan Survei Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) menunjukkan bahwa sebanyak tujuh dari 10 rumah tangga di Indonesia mengonsumsi air minum yang mengandung bakteri. Escherichia coli (E.coli) pada tahun 2020.
“Kontaminasi feses pada air minum biasanya diketahui dengan adanya bakteri E.coli dalam 100 ml sampel air,” tulis Kemenkes.
Jika dilihat lebih detail, berarti terdapat 31,6% rumah tangga perkotaan yang memiliki akses air minum aman yang bebas bakteri E.coli. Persentase untuk rumah tangga pedesaan lebih rendah yaitu hanya 19,5%.
Sedangkan jika ditambahkan parameter air minum yang aman antara lain kandungan E.coli, zat terlarut, pH, Nitrat, dan Nitrit maka persentase rumah tangga yang mengakses air minum aman akan berkurang. Angka tersebut sebesar 22,1% di perkotaan dan 11,3% di pedesaan pada tahun 2020.
Lebih dari 50% rumah tangga perkotaan menggunakan AMDK sebagai sumber utama air minum pada tahun 2022. Secara rinci, 38,92% rumah tangga menggunakan AMDK dari depot isi ulang. Kemudian, sebanyak 13,04% rumah tangga bergantung pada AMDK bermerek.
Air kemasan juga merupakan salah satu sumber utama air minum di pedesaan, namun persentasenya tidak sebesar di perkotaan. Sebanyak 20,69% rumah tangga menggunakan air isi ulang dan hanya 1,78% yang menggunakan air kemasan bermerek.
Penelitian Komarulzaman et al. (2017) dalam “Beralih ke air kemasan isi ulang di Indonesia: risiko kesehatan yang serius” di Jurnal Air & Kesehatan mengungkapkan beberapa alasan mengapa masyarakat memilih air minum dalam kemasan sebagai sumber air minum. Misalnya mudah didapat dan digunakan, serta harganya cukup masuk akal.
Tak hanya itu, air minum dianggap lebih aman dibandingkan sumber air minum lainnya. Anggapan ini sama sekali tidak salah, karena kualitas air minum di Indonesia masih buruk, maka konsumen tentu ingin mencari pilihan lain.
Namun penilaian tersebut juga dipengaruhi oleh maraknya iklan AMDK yang mengarahkan persepsi masyarakat bahwa minum AMDK itu lebih baik. Misalnya melalui penggunaan aktor (artis), kalimat promosi, atau tampilan warna.
Kondisi lingkungan seperti ketersediaan air tanah yang semakin menipis juga dapat mendorong konsumen untuk beralih ke air minum dalam kemasan dengan alasan lebih bersih dan aman.
Padahal, air minum dalam kemasan tidak selalu lebih aman dibandingkan sumber air lainnya. Menurut hasil penelitian Ikhsan et al. (2022) dalam “Analisis konsumsi air minum dalam kemasan di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir” dalam jurnal tersebut Kebijakan AirAir kemasan juga terkontaminasi zat berbahaya, seperti feses.
Pencemaran terjadi karena proses pengolahan air minum tidak efektif dalam menghilangkan zat-zat berbahaya. Biasanya ini terjadi di depot air isi ulang. Selain itu, proses pengemasan dan penyimpanan air minum dalam kemasan kurang bersih sehingga terjadi kontaminasi ulang pada air minum.
Beberapa penelitian juga menemukan kandungan mikroplastik pada air minum dalam kemasan. Mikroplastik adalah partikel plastik kecil yang berasal dari botol atau galon air minum kemasan yang berpotensi merusak sistem tubuh manusia.
Sebagai ilustrasi, Cox et al. (2019) menganalisis 26 penelitian dari berbagai negara untuk menghitung jumlah rata-rata mikroplastik pada makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia. Hasilnya mereka tulis dalam “Human Use of Microplastics” di jurnal tersebut Sains & Teknologi Lingkungan.
Sebanyak 94,37 partikel mikroplastik per liter ditemukan dalam air minum dalam kemasan. Jumlah ini merupakan yang tertinggi di antara makanan dan minuman lainnya. Misalnya, air keran memiliki 4,24 partikel mikroplastik per liter.
Penggunaan air minum dalam kemasan sebagai sumber air minum di rumah tangga juga dapat menimbulkan masalah sosial. Ikhsan dkk. berpendapat bahwa konsumsi AMDK memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat pendidikan orang tua, usia kepala keluarga, indeks kekayaan, dan jenis tempat tinggal.
Oleh karena itu, “anak muda di perkotaan akan mendominasi konsumsi AMDK di Indonesia.” Jika air minum dalam kemasan setidaknya kurang berbahaya dibandingkan sumber air minum lainnya, maka hal ini akan menyebabkan jurang yang semakin dalam antara penduduk perkotaan dan pedesaan.
Terakhir, akses ke air minum yang “aman” berpotensi hanya diperuntukkan bagi masyarakat perkotaan—mereka yang mau dan mampu membelinya. Sedangkan warga di pedesaan harus puas dengan air minum yang tersedia.
Kementerian Kesehatan mengatakan kualitas air minum yang buruk atau tidak aman dapat menyebabkan penyakit menular, bahkan kerdil Pada anak-anak. Lantas, mengapa pemerintah sulit menyediakan air minum yang aman bagi rakyatnya?
Nastiti et al. (2023) dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam artikel “Desentralisasi Air Minum Aman” di media Indonesia mengatakan “diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah” untuk menyediakan air minum yang aman bagi masyarakat.
Senada dengan itu, Sultana (2018) dalam “Water Justice: Why It Matter and How to Achieve It” dalam jurnal Air Internasional juga percaya bahwa penyediaan air minum yang aman terkait dengan isu-isu yang lebih luas, seperti demokrasi, kewarganegaraan, dan pembangunan.
“Masalah air tidak bisa diselesaikan secara teknis. Namun perlu pengakuan yang lebih luas bahwa isu air juga terkait dengan isu lingkungan, politik, dan sosial,” tulis Sultana.
Misalnya, privatisasi pengelolaan air di Jakarta. Praktik ini sudah berlangsung selama 25 tahun antara Pemda DKI Jakarta dengan Syarikat Air Jaya (PAM) dengan pihak swasta Aetra dan Palyja, seperti dilansir situs Indonesia Corruption Watch (ICW).
Alih-alih melakukan penilaian menyeluruh setelah seperempat abad, pemerintah provinsi dan PAM Jaya justru memperpanjang masa privatisasi air di Jakarta. Mereka telah menandatangani kontrak dengan Moya Indonesia pada akhir tahun 2022.
Padahal, privatisasi pengelolaan air terbukti tidak lebih baik, bahkan merugikan masyarakat. Secara kuantitas, jangkauan layanan PAM Jaya melalui jaringan pipa hanya mencapai 65% dari wilayah Jakarta. Cakupan ini juga cenderung mendiskriminasi rumah tangga miskin.
Dari segi kualitas, wilayah yang masuk dalam jaringan pipa juga tidak memiliki kualitas air yang memuaskan. Misalnya air tidak bisa langsung diminum, sehingga perlu diolah terlebih dahulu atau ditambah dari sumber lain, seperti air minum.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pernah meneliti kandungan deterjen dalam air pasca praktik privatisasi di Jakarta pada 1998, seperti dilansir Tirto. Hasilnya, air tersebut mengandung 1,12 mg/l deterjen pada tahun tersebut. Angka tersebut jauh dari standar yang ditetapkan sebesar 0,05 mg/l.
Sedangkan sebelum privatisasi air, kadar deterjen tercatat di bawah standar 0,031 mg/l pada tahun 1993 dan 0,016 mg/l pada tahun 1994.
Menurut Koalisi Masyarakat Anti Privatisasi Air Jakarta (KMMSAJ), privatisasi pengelolaan air juga melanggar hak asasi manusia. Hal ini karena rakyat berhak atas air dan air adalah sumber kehidupan. Oleh karena itu, kebutuhan air dari hulu hingga hilir harus dipenuhi oleh negara.
“Tidak mungkin swasta berupaya maksimal untuk memenuhi hak rakyat atas air karena tujuan bisnisnya adalah keuntungan,” tulis koalisi tersebut.
Tanpa kemauan politik negara dan pemerintah untuk menyediakan air minum yang aman bagi masyarakat, masalah air akan terus berputar dalam siklus yang sama.
Kualitas air minum di Indonesia tergolong buruk, sehingga pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta untuk meningkatkan infrastruktur dan pelayanan air minum. Namun, sektor swasta pun tidak dapat memenuhi kebutuhan air minum yang aman bagi seluruh lapisan masyarakat.
Akibatnya, rumah tangga dengan kemampuan ekonomi sedang hingga tinggi yang disuplai jaringan pipa air masih perlu menambah sumber air minum lainnya. Salah satunya adalah air minum dalam kemasan yang sebenarnya tidak selalu lebih aman dan dapat menimbulkan efek buruk dalam jangka panjang.
Sedangkan rumah tangga miskin tidak memiliki kemewahan tersebut. Mereka tidak bisa mengakses sambungan air dari jaringan pipa, sehingga harus mencari mekanisme alternatif yang mungkin lebih mahal dan belum tentu aman.
Akhirnya, “air minum rasa duri” tidak hanya muncul dalam peribahasa, tetapi menjadi kenyataan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.