Pencemaran udara merupakan topik bahasan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun terasa jauh karena tidak terlihat atau tidak terlihat. Berbeda dengan rokok, meski sama-sama berbahaya bagi kesehatan, banyak orang yang sadar akan dampak negatif dari pembakaran tembakau.
Padahal efek polusi udara lebih banyak dirasakan manusia karena jangkauannya lebih luas daripada asap rokok.
Menyadari bahwa banyak orang tidak terbiasa dengan efek polusi udara, Richard A. Muller dan Elizabeth A. Muller dari Berkeley Earth membuat persamaan paparan polusi udara dengan jumlah rokok yang dihisap. Berkeley Earth adalah organisasi nirlaba independen dari Amerika Serikat yang berfokus pada data dan analisis lingkungan.
Dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah mengukur dampak buruk polusi udara terhadap kesehatan, seperti terlihat dari jumlah ekuivalen rokok. “Satu batang rokok setara dengan 22 µg/m³ polusi udara PM2.5 selama satu hari,” tulis studi tersebut.
Peneliti mendapatkan rumus tersebut dari analisis kematian di China akibat polusi menurut rasio kematian akibat rokok per tahun.
Di negara ini, 1,6 juta orang meninggal setiap tahun akibat paparan rata-rata 52 µg/m3 PM2.5. Sedangkan rasio kematian per tahun dibandingkan dengan rokok yang terjual per tahun adalah 0,00000137 atau dinyatakan dalam notasi ilmiah 1,37 x 10-6.
Dengan kata lain, ada 1,37 kematian per tahun untuk setiap satu juta batang rokok yang dihisap.
Untuk membunuh 1,6 juta orang—dengan asumsi 1,37 x 10-6 kematian per batang—diperlukan 1,1 triliun batang rokok. Karena jumlah penduduk China 1,35 miliar, berarti setiap orang membutuhkan 864 batang rokok dalam setahun, atau setara dengan 2,4 batang sehari.
Jadi rata-rata orang di China yang biasanya menghirup 52 μg/m3 polusi udara, menerima dampak kesehatan yang setara dengan merokok 2,4 batang sehari.
Pada catatan yang sama, mari kita lihat polusi udara di kota-kota Indonesia – yang dinobatkan sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di ASEAN pada tahun 2022.
Menurut IQAir World Air Quality Report, pada Minggu, 9 April 2023 pukul 06.00 WIB, Tangerang Selatan menjadi kabupaten/kota dengan kualitas udara terburuk di Indonesia. Konsentrasi rata-rata PM2.5 di Tangerang Selatan mencapai 190 µg/m³.
Polutan di daerah ini sudah dikategorikan sebagai “tidak sehat”, 26,2 kali lebih tinggi dari nilai pedoman kualitas udara tahunan WHO sebesar 5 µg/m³.
Notasi Berkeley Earth menyatakan bahwa rata-rata orang di Tangerang Selatan menghirup polusi udara setara dengan efek kesehatan dari merokok 5,9 batang rokok.
Jakarta merupakan kota terpolusi ketiga di Indonesia dengan polutan PM2.5 mencapai 48,6 µg/m³. Artinya, setiap orang di Jakarta pada tahun tersebut rata-rata terpapar polusi udara setara dengan merokok 2,2 batang rokok.
Pada tahun 2020 Greenpeace memperkirakan setidaknya 200 ribu jiwa akan hilang akibat polusi udara. Angka itu berasal dari lima kota terpadat di dunia—mewakili 1,7 persen populasi global—pada tahun itu.
New Delhi, India, menjadi kota pertama dengan jumlah kematian tertinggi akibat polusi udara yakni sekitar 57 ribu orang dan total kerugian mencapai US$8,6 miliar.
Di urutan kedua adalah Tokyo, Jepang, dengan jumlah kematian mencapai 53 ribu orang, namun mengalami kerugian ekonomi lebih tinggi hingga US$57 miliar. Selanjutnya, Shanghai, China, merenggut 49 ribu nyawa akibat polusi udara. Lalu ada Sao Paulo, Brazil, dengan 16.000 korban dan Mexico City, Meksiko, dengan 20.000 korban.
Greenpeace memperkirakan total kerugian akibat polusi udara di lima kota tersebut mencapai US$106 miliar.
Diperkirakan US$8 miliar (3,3% dari total PDB dunia) hilang setiap hari karena berkurangnya harapan hidup, kelahiran prematur, dan penyakit. Dampak tersebut pada akhirnya menimbulkan efek domino berupa kunjungan ke rumah sakit, kehilangan pekerjaan, dan beban keuangan akibat sakit.
Di Indonesia, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan polusi udara meningkatkan risiko penyakit pernapasan sebesar 15-20%.
“Faktor risiko penyakit paru-paru dipengaruhi oleh polusi udara, riwayat merokok, infeksi berulang, dan genetik,” ujarnya.
Sebanyak 4 dari 10 penyakit yang menurut BPJS Kesehatan paling banyak diderita masyarakat Indonesia adalah juga penyakit pernapasan. Sedangkan polusi udara meningkatkan risiko penyakit pernapasan seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sebesar 36,6%, pneumonia 32%, asma 27,95%, kanker paru-paru 12,5%, dan tuberkulosis 12,2%.
Kerugian material yang berhasil dikumpulkan Greenpeace Asia Tenggara memperkirakan di Jakarta saja terdapat 81 kematian dengan kerugian mencapai US$21 pada tahun 2021.
Itu adalah tahun ketika wabah Covid-19 merajalela. Ada batasan yang meningkatkan kualitas udara.
Saat dunia mulai pulih, semua orang kembali ke jalanan, sehingga polusi juga semakin parah. Pada tahun 2023, kurang dari setengah tahun lagi, Greenpeace Asia Tenggara memprediksi polusi udara di Jakarta akan membunuh sekitar 2.200 orang dengan kerugian materi mencapai US$590 juta.
Greenpeace memperkirakan kematian dan biaya ini berdasarkan total dampak yang disebabkan oleh PM2.5 dan NO2 selama setahun terakhir, kemudian dibagi dengan jumlah hari dengan tingkat polutan harian yang tercatat.
Meski polusi udara memiliki banyak polutan, Greenpeace hanya menganggap dua polutan utama sebagai yang paling berbahaya.
Materi partikulat (PM2.5) adalah partikel udara yang lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer). Partikel tersebut dapat masuk ke dalam paru-paru dan darah sehingga menyebabkan berbagai gangguan pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), kanker paru-paru, serangan jantung, kematian dini, dan penyakit paru-paru kronis.