Harga minyak mentah dunia melonjak akibat invasi Rusia ke Ukraina. Kenaikan ini menyebabkan Indonesia terkena dampak karet karena alokasi subsidi energi membengkak.
Hingga Maret 2022, Indonesian Crude Price (ICP) ditetapkan sebesar US$ 113,8 per barel. Nilai tersebut hampir dua kali lipat asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yang menetapkan rata-rata ICP US$ 63 per barel.
ICP ini juga yang tertinggi sejak Februari 2013. Saat itu, ICP dipatok US$ 114,86 per barel. Pada 2011-2013, harga minyak mentah konsisten di kisaran US$ 100 per barel. Penyebabnya adalah Revolusi Arab (Arab Spring) yang terjadi di Mesir, Libya, Yaman, dan Bahrain.
POTENSI SUBSIDI TERTINGGI SEJAK SBY
Simulasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dikutip Institute of Economic and Financial Development (Indef) menghitung, setiap kenaikan US$ 1 per barel dari asumsi APBN akan menambah beban subsidi energi sebesar Rp 4,4 triliun.
Kenaikan Rp 4,4 triliun itu terdiri dari subsidi LPG 3 kg Rp 1,47 triliun, subsidi bensin dan solar Rp 2,65 triliun, minyak tanah Rp 49 miliar, dan subsidi listrik Rp 295 miliar.
Ekonom Indef Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan tren harga minyak yang tinggi akan terus berlanjut selama Rusia masih berkonflik dengan Ukraina. Ini karena Rusia adalah salah satu produsen minyak dan gas terbesar di dunia.
“Sekarang harga (minyak) sekitar US$100 (per barel). Jika konflik tidak mereda di tengah tahun dan harga masih di atas 100, kemungkinan rata-rata tahunan (ICP) masih tinggi,” kata Eisha. katadata.co.id pada hari Senin 18 April 2022.
Jika kita asumsikan rata-rata ICP tahunan mencapai US$ 100 per barel pada 2022, berarti pemerintah harus mengeluarkan Rp 162,8 triliun untuk menutup beban subsidi yang membengkak.
Tahun ini, pemerintah menganggarkan Rp 134,03 triliun untuk subsidi energi. Dengan perkiraan tambahan Rp 162,8 triliun, berarti subsidi energi bisa mencapai Rp 296,83 triliun.
Perkiraan nilai subsidi tersebut merupakan yang tertinggi sejak 2014, saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menjadi presiden.
Perlu diingat bahwa pengurangan subsidi BBM merupakan salah satu program Joko Widodo sebelum menjabat sebagai presiden. Menurutnya, uang yang dianggarkan untuk subsidi BBM dapat disalurkan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang lebih bermanfaat langsung bagi masyarakat.
Pengurangan subsidi energi sejak era Joko terlihat dari nilai yang merosot tajam dari Rp 341,8 triliun pada 2014 menjadi Rp 106,8 triliun pada 2015. Sepanjang 2015-2021, realisasi subsidi energi juga tak pernah melebihi Rp 200 triliun per tahun.
Meski begitu, pengurangan subsidi mudah dilakukan saat ICP rendah. Sejak Joko dilantik pada 2014, rata-rata ICP tahunan hanya tercatat US$ 54,12 per barel pada periode 2015–2021.
Sebelum 2022, harga ICP tertinggi pada masa kepresidenan Joko Widodo adalah US$ 83,72 per barel pada Oktober 2014. Itu adalah bulan yang sama ketika Joko pertama kali dilantik sebagai presiden.
Eisha menilai pemerintah perlu mencari tambahan sumber pendapatan atau mengurangi pengeluaran lain guna mengejar target defisit APBN. Selain itu, visi pemerintah untuk mengurangi subsidi energi dengan mengutamakan transisi energi juga terancam oleh kenaikan harga minyak yang drastis ini.
TAMBAHAN KUOTA DAN KENAIKAN HARGA
Subsidi pemerintah bisa lebih besar dengan penambahan kuota subsidi untuk tiga jenis BBM. Ketiga bahan bakar tersebut adalah Pertalite, solar bersubsidi, dan minyak tanah.
Kuota Pertalite bertambah 5,45 juta kiloliter (cl) dari 23,05 juta cl menjadi 28,5 juta cl. Kuota solar bersubsidi bertambah 2,29 juta kl dari 15,1 juta kl menjadi 17,39 juta kl. Terakhir, kuota subsidi minyak tanah bertambah 0,1 juta KL menjadi 0,58 juta KL.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan kenaikan kuota tersebut karena konsumsi BBM masyarakat meningkat saat aktivitas ekonomi pulih. Hal ini terlihat dari konsumsi Pertalite yang melebihi kuota sebesar 14% dan solar yang melebihi kuota sebesar 9,5% pada Januari-Maret 2022.
Selain itu, penambahan kuota Pertalite juga memperhitungkan selisih harga Pertalite dan Pertamax yang baru naik menjadi Rp 12.500-13.000 per liter. Adanya perbedaan harga membuat pengguna Pertamax beralih ke Pertalite.
“Di lapangan terjadi penurunan penggunaan Pertamax, namun di sisi lain terjadi peningkatan penggunaan Pertalite,” kata Arifin dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, Rabu, 13 April 2018.
Dalam pertemuan itu, Arifin juga mengisyaratkan akan menaikkan harga Pertalite dan solar bersubsidi dalam waktu dekat. Sebagai informasi, harga Pertalite masih Rp 7.650 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan harga keekonomian kedua bahan bakar tersebut jauh melebihi harga jualnya. Mamit mengatakan, harga keekonomian Pertalite saat ini sekitar Rp 15.000 per liter dan solar bersubsidi sekitar Rp 14.000 per liter.
Mamit juga memperkirakan harga wajar kedua BBM bersubsidi tersebut di bawah Rp 10.000 per liter. “Mungkin sekitar Rp9.000 per liter,” ujarnya katadata.co.idSenin, 18 April.
Dia menilai harga paling cocok jika memperhitungkan kemampuan masyarakat dan mengurangi beban subsidi pemerintah.
Meski begitu, Mamit yakin kenaikan harga BBM bersubsidi tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Ia mengatakan, kuartal IV 2022 merupakan waktu yang paling tepat bagi pemerintah untuk menaikkan harga.
“Menurut saya, kenaikan harga bisa berdampak pada perekonomian masyarakat yang sedang dalam masa pemulihan pascapandemi. Apalagi Idul Fitri sudah dekat dan sebentar lagi kita akan memasuki tahun ajaran baru,” ujar Mamit.
BUKAN KALI PERTAMA ICP MELEBIHI ASUMSI APBN
Kalau dipikir-pikir, ini bukan pertama kalinya ICP melampaui asumsi APBN. Pada periode 2015-2021, ICP rata-rata tahunan melebihi asumsi APBN sebanyak tiga kali yaitu pada tahun 2017, 2018 dan 2021. Tahun 2021 merupakan tahun dengan margin terbesar, rata-rata ICP tahunan lebih besar 51% dari asumsi APBN.
Sedangkan realisasi ICP rata-rata tahunan berada di bawah asumsi APBN tahun 2015, 2016, 2019 dan 2020. Margin terbesar terjadi pada tahun 2015 dimana rata-rata ICP tahunan lebih rendah 53% dari asumsi APBN.
Meskipun rata-rata ICP tahunan lebih tinggi dari asumsi APBN, bukan berarti belanja subsidi lebih rendah dari anggaran. Pada 2015, realisasi subsidi energi mencapai Rp186 triliun. Nilai tersebut lebih tinggi 35% dari anggaran yang ditetapkan sebesar Rp 137,8 triliun.
Realisasi subsidi energi juga melonjak 62% menjadi Rp 153,5 triliun pada 2018. Padahal, pemerintah hanya mematok estimasi Rp 94,53 triliun pada tahun itu. Pada tahun itu, rata-rata ICP tahunan tercatat sebesar US$ 67,46 per barel.
Selain rata-rata ICP tahunan, nilai tukar rupiah juga mempengaruhi besaran subsidi energi. Pada 2015, rupiah melemah 10,9% sepanjang tahun. Pelemahan besar juga terjadi di tahun 2018 dimana rupiah mencatat pelemahan sebesar 5,7% sepanjang tahun.
Realisasi subsidi yang nilainya di bawah anggaran baru terjadi pada 2019. Saat itu, realisasi subsidi energi Rp 136,9 triliun sebenarnya lebih rendah 14% dari anggaran Rp 159,97 triliun.