Semakin kaya, makanan bukan lagi kebutuhan pokok. Hal ini terlihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa semakin sejahtera maka porsi pengeluaran pangan semakin kecil.
Pangsa pengeluaran makanan adalah rasio pengeluaran terhadap pengeluaran makanan. Ini dihitung dari total pengeluaran penduduk selama sebulan. Pada kelompok penduduk kuintil pertama, porsi pengeluaran makanan adalah 63,64%.
BPS membagi pengelompokan pengeluaran rumah tangga menjadi lima kuintil. Semakin tinggi kuintilnya, semakin makmur tingkatnya.
Seperti terlihat pada grafik, semakin tinggi kuintil, semakin rendah porsi pengeluaran makanan. Secara nasional, penduduk pada kuintil kelima memiliki porsi pengeluaran pangan kurang dari 50%, tepatnya hanya 39,49%.
Dengan kata lain, kebutuhan utama orang kaya bukan hanya makanan. Sebagian besar kebutuhan mereka termasuk dalam kelompok bukan makanan, seperti biaya perumahan, pendidikan, dan lain-lain.
Sedangkan penduduk yang kurang mampu, pendapatannya hanya cukup untuk menutupi kebutuhan pangannya. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan lain, selain untuk bertahan hidup.
(Baca: Ekonomi Maju Tapi Kesenjangan Melebar Pasca Krisis 1998)
Situasi ini sesuai dengan teori Ernst Engel, seorang ekonom dan ahli statistik politik, bahwa ketika pendapatan meningkat, bagian pendapatan yang dihabiskan untuk membeli makanan akan berkurang. Seseorang dapat dikatakan lebih sejahtera jika porsi pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil daripada porsi pengeluaran bukan makanan.
Jika dilihat dari tiap provinsi, DKI Jakarta memiliki porsi belanja pangan yang paling rendah diantara provinsi lain di Indonesia, yaitu hanya 37,43%. Namun, Jakarta memiliki total belanja rata-rata tertinggi.
Sementara itu, penduduk di Nusa Tenggara Timur yang memiliki rata-rata total pengeluaran terendah menggunakan lebih dari 58,45% total pengeluarannya untuk konsumsi makanan.
Prioritas Pangan untuk Masyarakat Sejahtera Non Gandum
Pada kelompok masyarakat kuintil pertama, dari total pengeluaran makanan, 20,78% dihabiskan untuk serealia. Perbedaan tersebut sangat signifikan dibandingkan penduduk pada kuintil kelima yang pengeluarannya hanya 7,05%. Porsinya lebih kecil dari produk ikan/udang/cumi/kerang.
Jika mereka yang berpenghasilan rendah memenuhi kebutuhan pangannya dengan jenis yang relatif murah dan mengenyangkan. Sedangkan mereka yang berpendapatan tinggi diprioritaskan untuk sumber protein, terutama sumber hewani seperti ikan dan daging.
Untuk setiap kuintil, pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi adalah yang terbesar. Setiap penduduk pada kuintil pertama rata-rata menghabiskan 24,51% dari total pengeluaran makanan. Sedangkan jumlah penduduk pada kuintil kelima mencapai 37,22%.
(Baca: Beban Masyarakat Miskin Akibat Kenaikan Harga BBM dan Inflasi)
ketidaksamaan Ppengeluaran Nmakanan
Terlihat pula bahwa terdapat perbedaan yang relatif tinggi pada pengeluaran komoditas bukan makanan antara kuintil tertinggi dan kuintil terendah. Ini terutama untuk tujuan barang tahan lama.
Pada kelompok kuintil pertama, rata-rata pengeluaran adalah Rp4.770 per kapita per bulan atau setara dengan 2,9% dari total pengeluaran bukan makanan. Sedangkan pada kuintil kelima pengeluarannya jauh lebih besar yaitu Rp 200.462 atau 11,3% dari total pengeluaran bukan makanan.
Hal ini juga menunjukkan bahwa selain perbedaan pendapatan, gaya hidup juga dapat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
(Baca: Peluang Indonesia Bebas dari Kemiskinan Ekstrim 2024)