Indonesia dan sekelompok negara maju mengumumkan Just Energy Transition Partnership (JETP) pada KTT G20 di Nusa Dua, Bali.
Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, dan Inggris merupakan negara mitra dalam kerja sama ini senilai total US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310,4 triliun.
Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia berkomitmen untuk menggunakan transisi energi untuk mencapai ekonomi hijau dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
“Kemitraan ini akan menghasilkan pelajaran berharga bagi komunitas global dan dapat direplikasi di negara lain untuk membantu mencapai tujuan iklim kita bersama,” katanya.
Pembiayaan ini mengharuskan Indonesia menurunkan emisi karbonnya hingga maksimal 290 juta ton pada 2030. Maksimum emisi karbon turun dari target awal 357 juta ton. Pada tahun 2050, Indonesia dituntut untuk benar-benar bebas emisi.
Sedangkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) harus mencapai 34% pada 2030. Target bauran energi tersebut jauh lebih tinggi dari target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang hanya 23,4% pada 2030.
Pembangunan pembangkit listrik baru berbahan bakar batu bara juga harus dihentikan dan upaya harus dilakukan untuk menghentikan pembangkit listrik yang ada lebih awal.
Meski begitu, Indonesia perlu memastikan bahwa pembiayaan yang didapat nantinya memiliki porsi hibah atau pinjaman ringan yang cukup. Masalahnya, dana JETP Afrika Selatan diketahui didominasi oleh utang atau pinjaman lunak dan komersial. Sedangkan porsi hibah kurang dari 3%.
Peneliti dan Asian Trend Program Manager, Andri Prasetiyo mengatakan, langkah tersebut merupakan langkah antisipasi agar tidak membebani negara ke depan.
“Alasannya adalah tanggung jawab negara maju sebagai pihak yang banyak menghasilkan emisi,” katanya kepada Katadata.co.id, Jumat 18 November 2022.