Dari 18 partai politik peserta pemilu 2024, sembilan partai politik telah mendaftarkan artis dan tokoh masyarakat sebagai calon anggota legislatif (bacaleg). Beberapa tokoh masih duduk di parlemen hingga saat ini, sementara lainnya merupakan nama-nama baru di dunia politik.
Misalnya, PDI Perjuangan mendaftarkan 14 orang dari seniman dan artis untuk memperebutkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejumlah nama sudah santer terdengar sejak pemilu sebelumnya, seperti Rano Karno, Rieke Diah Pitaloka, dan Kris Dayanti.
Pada pemilu tahun depan, PDI Perjuangan akan menambah amunisi dari kalangan tersebut. Beberapa nama ternama seperti Once Mekel, Denny Cagur, dan Tamara Geraldine masuk dalam daftar caleg yang siap bersaing dalam kontes politik lima tahun mendatang.
Parpol lain juga tak mau kalah. Berdasarkan catatan Katadata.co.id, Parti Perindo memiliki sembilan artis dan tokoh masyarakat yang masuk dalam daftar caleg DPR. Jumlah ini disusul Partai NasDem dan PAN masing-masing delapan orang, kemudian Partai Gerindra tujuh orang.
PKB dan Partai Demokrat telah mendaftarkan lima artis dan tokoh masyarakat sebagai caleg DPR. Begitu juga dengan PSI tiga orang dan PKS satu orang.
Kehadiran selebritas dan tokoh masyarakat dalam pemilu sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Sebanyak enam orang dari rombongan ini jalan kaki ke Senayan dalam kurun waktu 2004-2009. Bahkan jumlahnya meningkat dua kali lipat menjadi 15 pada periode 2009-2014.
Namun, selama 10 tahun terakhir, jumlah anggota DPR yang berprofesi sebagai seniman dan tokoh masyarakat mengalami stagnasi. Ada 15 orang terpilih pada periode 2014-2019 dan 14 orang pada periode 2019-2024.
Dengan kata lain, mempromosikan artis sebagai caleg merupakan salah satu strategi partai politik dalam pemilu. Peneliti senior Pusat Populi Usep Saepul Ahyar mengatakan partai politik membutuhkan popularitas artis untuk meningkatkan elektabilitas partai politik itu sendiri, seperti dikutip dari Koran Tempo.
Pasalnya, artis dan publik figur sering muncul di media yang digunakan masyarakat, seperti YouTube dan televisi, sehingga pemilih sudah familiar dengan mereka. Tak hanya itu, mereka juga memiliki penggemar yang rata-rata siap mendukung idolanya.
Modal inilah yang dibutuhkan parpol agar masyarakat memilih artis, artinya memilih parpol yang sama juga. Dengan begitu, parpol bisa mengantongi kursi di parlemen.
Namun, menurut Usep, parpol seharusnya mengandalkan ide dan gagasan kandidat untuk meningkatkan elektabilitasnya dalam pemilu, bukan mengambil langkah instan ini.
Partai politik yang berhasil meningkatkan elektabilitasnya dengan melibatkan artis dapat dilihat pada kasus raja dangdut Rhoma Irama. Padahal, beberapa faktor lain justru turut menyumbang keberhasilan tersebut.
Pada pemilu 1977, polling PPP mengalahkan Golkar di DKI Jakarta dan DI Aceh. Sedangkan di tingkat nasional, PPP memperoleh 29,29% dari total suara, meningkat sekitar 2,2% dibanding Pemilu 1971. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut kenaikan itu terjadi karena beberapa tokoh Masyumi juga ikut mendukung. PPP.
Pada saat yang sama, Rhoma menjadi simpatisan dan juru kampanye partai Candi. Ia kerap menampilkan musik dangdut dalam kegiatan kampanye, sukses mengundang dan menghibur masyarakat di acara-acara politik tersebut.
Rhoma juga sempat terlibat PKB jelang pemilu 2014. Bahkan, ia juga dicalonkan sebagai calon presiden dari partai politik tersebut. Baliho besar bergambar Rhoma sedang menunggang kuda telah dipasang di beberapa lokasi di Jakarta sejak November 2013, seperti dikutip dari Berita Terkini.
Alhasil, pada Pemilu Legislatif 2014 yang digelar enam bulan kemudian, perolehan suara PKB naik dua kali lipat dibanding pemilu sebelumnya. Angka tersebut adalah 4,95% pada Pileg 2009 menjadi 9,04% pada Pileg 2014.
Andrew Weintraub dalam bukunya Cerita Dangdut: Sejarah Sosial dan Musikal Musik Terpopuler Indonesia (2010) berpendapat bahwa keberhasilan Rhoma menarik perhatian masyarakat—dan akhirnya memilih dalam pemilu—tidak lepas dari musik dangdut yang dibawakannya.
Menurut Weintraub, dangdut umumnya diasosiasikan dengan musik rakyat. Lirik lagu tersebut dianggap mewakili “cita-cita dan keinginan” mayoritas penduduk Indonesia. Liriknya “sederhana, mudah dipahami, dan menggunakan situasi sehari-hari yang dekat dengan penonton”.
Namun, musik dangdut tidak sesederhana itu. Dalam wawancara yang dilansir dari buku tersebut, Rhoma menggunakan dangdut untuk membentuk gagasan politik dan moral masyarakat.
“Kalau kita mau merah, mereka (rakyat) merah. Jika kita ingin putih, mereka akan menjadi putih. Untuk itu kita perlu mengharmonisasikan lirik, rasa, dan penampilan agar cita-cita kita tercapai,” kata Rhoma.
Rhoma adalah tokoh sentral dalam sejarah dangdut di Indonesia. Ia seolah menjadi perpanjangan tangan rakyat—menyampaikan aspirasi khalayak luas melalui lagu-lagunya—muncul di tengah pemerataan pemerintahan Orde Baru.
Apalagi Rhoma yang sering tampil sebagai tokoh utama dalam film-filmnya selalu digambarkan sebagai pahlawan. Ini membuat beberapa penggemar “merasa diberdayakan (resmi)” pada sosok pahlawan.
Dengan kemampuannya menggubah dan membawakan musik dangdut, ditambah dengan personanya sebagai pahlawan, Rhoma berhasil menarik perhatian dan simpati masyarakat saat itu. Raja dangdut itu kemudian menjadi mesin pemilih partai politik.
Kasus Rhoma Irama di atas menunjukkan bahwa popularitas saja tidak cukup untuk membuat artis dan tokoh masyarakat lancar masuk parlemen. Mereka membutuhkan ikatan dan koneksi yang erat dengan masyarakat untuk mendapatkan dukungan penuh.
Menominasikan artis dalam semalam sering kali juga memunculkan cara praktis. Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, kemungkinan artis terpilih menjadi anggota DPR karena bisa mengimbangi popularitas mereka dengan politik uang.
Meski kepopuleran tak selalu menjamin artis dan publik figur akan ke Senayan, sejumlah orang dari kalangan itu sebenarnya sudah berhasil duduk di sana, meski lebih dari satu periode. Merujuk situs DPR, mayoritas artis di parlemen periode 2019-2024 hanya menjabat sebagai anggota komisi masing-masing.
Selengkapnya, Nico Siahaan, Nurul Arifin, Rachel Mariam, dan Muhammad Farhan di Komisi I. Eko Patrio, Tommy Kurniawan, Mulan Jameela, dan Rieke Diah Pitaloka di Komisi VI. Arzeti Bilbina dan Kris Dayanti di Komisi IX, lalu Primus Yustisio di Komisi XI.
Harvey Malaiholo yang baru masuk melalui mekanisme pergantian sementara (PAW) juga menjabat sebagai anggota Komisi V. Rano Karno dan Desy Ratnasari sebagai anggota Komisi X, sedangkan artis hanya Dede Yusuf yang menjadi wakil ketua. Komisi.
Artinya, para seniman di DPR belum memiliki kapasitas atau dipercaya untuk memimpin sebuah komisi. Jabatan anggota komisi juga bisa menjadi wadah bagi para seniman untuk belajar sebagai wakil rakyat.
Dengan demikian, luncurkan BBC IndonesiaLucius Karus, Pengamat Politik Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), menilai penampilan seniman dan tokoh masyarakat kurang memuaskan, baik dalam menyampaikan gagasan maupun kerja legislatif.
Berdasarkan catatan kami, total ada 20 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang telah disetujui DPR untuk menjadi undang-undang periode 2020 hingga April 2023. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan periode 2015-2019 yang memiliki 34 Prolegnas. tagihan.
“Jadi, belum bisa dikatakan ada efek positif yang bisa mereka tunjukkan di parlemen setelah menjadi anggota DPR,” ujar Lucius.