Pemerintah akan menaikkan tarif cukai tembakau rata-rata 10% pada 2023. Salah satu alasannya adalah untuk mengontrol penggunaan rokok, terutama oleh perokok anak.
“Kalau konsumsi meningkat, maka ada hubungannya dengan kesehatan. Dunia internasional mengakui itu. Ini aspek konsumsi,” kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, 4 November 2022.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, prevalensi perokok usia 10-18 tahun ditargetkan sebesar 8,7% pada tahun 2024. Selain itu, kenaikan cukai untuk mengurangi penggunaan rokok di kalangan masyarakat miskin, yang adalah 11,6% – 12,2% .
Namun apakah kenaikan cukai efektif mengurangi konsumsi rokok?
Sejak tahun 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rata-rata sebesar 8-13% per tahun, kecuali pada tahun 2020 yang mencapai 23%. Sedangkan pada tahun 2019, pemerintah memutuskan tidak akan ada kenaikan tarif cukai.
Namun, kenaikan tarif cukai tidak serta merta mempengaruhi tingkat prevalensi perokok. Memang ada penurunan prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas, namun tidak terlalu signifikan.
Pada tahun 2022, prevalensi perokok dewasa hanya akan turun sebesar 0,7 poin menjadi 28,26% dibandingkan tahun sebelumnya. Meski pemerintah menaikkan tarif cukai sebesar 23% pada 2020, prevalensinya hanya turun 0,34 poin.
Hal yang sama berlaku untuk prevalensi perokok di bawah usia 18 tahun. Penurunannya tidak terlalu signifikan yakni hanya 0,25 poin.
Perokok Miskin Masih Tinggi
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan konsumsi rokok pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah masih tinggi. Bahkan dalam tiga tahun terakhir, angka prevalensinya meningkat. Angka tersebut juga lebih tinggi dari kelompok pengeluaran tertinggi (kuintil 5).
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi pengeluaran menjadi lima kuintil. Semakin tinggi kultil, artinya semakin makmur.
Rokok merupakan penyumbang garis kemiskinan terbesar kedua, baik di perkotaan maupun pedesaan. Bahkan total pengeluaran untuk konsumsi rokok rumah tangga miskin juga tinggi.
Proporsi pengeluaran rokok dan tembakau penduduk pada kuintil 1 mencapai 11,3% dari total pengeluaran makanan per bulan. Lebih tinggi dari kebutuhan protein seperti daging, ikan, atau telur.
Keadaan ini menunjukkan bahwa perokok di Indonesia tidak terpengaruh oleh kenaikan harga rokok selama ini, termasuk masyarakat miskin. Perokok terus merokok meskipun kesulitan ekonomi.
Hal itu terlihat dari studi yang dilakukan oleh Indonesian Strategic Development Initiative Center (CISDI) pada tahun 2020. Riset ini mengukur perubahan perilaku merokok selama 10 bulan pandemi Covid-19 di Indonesia dibandingkan sebelum pandemi. tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan, tetapi juga berdampak pada perekonomian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 29% masyarakat mengaku tetap merokok meski ekonominya sedang sulit. Persentase ini lebih tinggi daripada kelompok yang berhenti merokok, baru merokok, atau perokok yang kembali merokok setelah wabah.
CISDI memasukkan kelompok ini sebagai perokok aktif terus menerus. Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang mengalami pengurangan jam kerja dan kesulitan keuangan akibat wabah.
Survei tersebut juga menemukan bahwa mayoritas perokok aktif yang gigih tidak mengubah perilakunya. Mulai dari jumlah rokok yang digunakan, pengeluaran, hingga harga rokok yang dibeli.
Namun ada juga perokok yang mengurangi jumlah rokok yang dihisap, pengeluaran, dan beralih ke rokok yang lebih murah.
CISDI menyimpulkan, harga rokok yang bervariasi sehingga adanya pilihan yang lebih murah menjadi salah satu faktor yang mendorong perilaku seseorang untuk merokok. Kenaikan tarif cukai sejauh ini belum secara signifikan menurunkan konsumsi masyarakat karena harga rokok masih relatif terjangkau.
Dari survei tersebut, CISDI meminta pemerintah menyederhanakan kategori cukai agar variasi harga di pasar bisa ditekan.
Direktur Eksekutif Lembaga Riset Segara Piter Abdullah menilai pemerintah selama ini cenderung menggunakan pendekatan fiskal dalam penetapan tarif cukai. Dengan kata lain, kebijakan ini dilakukan semata-mata untuk meningkatkan penerimaan negara.
Masalahnya, jika kenaikan cukai diikuti dengan penurunan konsumsi, maka akan berdampak pada penurunan penerimaan negara. “Jadi untuk menekan prevalensi perokok, tidak cukup hanya menaikkan cukai saja,” ujarnya katadata.co.idSelasa, 20 Desember 2022.
Menurut Piter, pemerintah perlu melakukan upaya lain untuk membatasi kawasan merokok. Misalnya membatasi lokasi penjualan rokok.
Selain itu, dapat mengaktifkan peraturan daerah (perda) yang membatasi ruang merokok dan mengenakan denda bagi pelanggar. “Peraturan ini sudah ada tapi belum diaktifkan,” ujarnya.