Sejak beroperasi pada 2018, pengelolaan ekowisata Gunung Karang mengalami berbagai dinamika. Sebelum menjadi lokasi ekowisata, Gunung Karang merupakan hutan belantara.
Pada tahun 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan Gunung Karang dan sekitarnya sebagai kawasan Perhutanan Sosial dengan skema Pengakuan dan Lindung Berbagi Kehutanan (Kulin KK). Saat itu, kawasan perhutanan sosial digunakan untuk menanam padi, mangga, dan jagung.
Baru pada tahun 2018 dilakukan pembahasan antara Pemdes, Perhutani, dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) terkait potensi ekowisata. Setelah semua pihak sepakat, masyarakat bergotong royong membersihkan Gunung Karang. Tiga bulan kemudian, ekowisata Gunung Karang resmi beroperasi.
Sejak dibuka hingga tahun 2019 lalu, pengunjung yang datang mencapai ratusan hingga ribuan setiap harinya. Mulai dari anak TK hingga orang dewasa berbondong-bondong datang. Mereka datang untuk menikmati keindahan alam dan menguji adrenalin dengan menjelajahi gua.
Namun, wabah Covid-19 mengubah cerita. Sesuai dengan peraturan pemerintah, ekowisata ditutup. Gunung Karang sudah hampir dua tahun tidak dikunjungi pengunjung. Setelah wabah berangsur pulih, pada awal tahun 2022 Gunung Karang dibuka kembali. Pengelola beralih dari Pokdarwis ke Kelompok Usaha Perhutanan Sosial.
Tidak seramai sebelum pandemi. Kini Gunung Karang hanya menerima kunjungan tak lebih dari 100 wisatawan per bulan. Situasi ini kemudian menjadi titik balik. Pihak pengelola Gunung Karang kemudian merencanakan pengembangan ekowisata.
Diantara strategi dan inovasi yang dilakukan pengelola pasca pandemi adalah mengembangkan kegiatan ekowisata, perbaikan infrastruktur, peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola, dan kerjasama dengan pemerintah daerah.