liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Ironi ‘Fatherless Country’ dalam Citra Keluarga Ideal Indonesia

Ironi ‘Fatherless Country’ dalam Citra Keluarga Ideal Indonesia

4 minutes, 28 seconds Read

Indonesia diklaim menyandang predikat “fatherless country” atau negara tanpa ayah. Sepintas, predikat ini bertentangan dengan narasi keluarga ideal yang banyak dikampanyekan pada masa Orde Baru dan masih diyakini sebagian besar masyarakat hingga saat ini.

Keluarga ideal terdiri dari seorang ayah sebagai kepala keluarga, seorang ibu yang mengatur rumah tangga, dan dua orang anak sesuai dengan program Keluarga Berencana (KB). Namun, predikatnya yatim tidak sepenuhnya berlawanan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan yatim sebagai ketidakhadiran seorang ayah. Dengan kata lain, ayah sebenarnya ada atau ada secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak.

Laporan “State of the World’s Fathers” yang dikeluarkan oleh Rutgers Indonesia pada tahun 2015 menyebut budaya patriarki sebagai salah satu penyebab ketidakhadiran ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Ayah diharapkan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah.

Sedangkan ibu bertanggung jawab mengatur pekerjaan rumah tangga termasuk anak-anak. Jika ibu dipaksa bekerja—untuk menambah pendapatan rumah tangga—ibu tetap diharapkan menjalankan tugas utamanya. Peran ini juga tertuang dalam UU Perkawinan.

“Tidak mengherankan jika mayoritas ayah Indonesia hidup dengan norma bahwa peran mereka dalam keluarga hanya sebatas memenuhi kebutuhan dan keuangan keluarga,” tulis Rutgers Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja laki-laki memang lebih banyak dibandingkan perempuan yang bekerja di Indonesia. Angka tersebut akan menjadi 82,6 juta dibandingkan dengan 52,7 juta pada tahun 2022.

Kesenjangan itu semakin dalam bagi warga yang mengurus rumah tangga. Jumlah perempuan yang mengelola rumah tangga adalah 37,6 juta orang, sementara laki-laki hanya 3,6 juta pada tahun yang sama.

Sayangnya, data ini juga tidak menunjukkan kelompok umur laki-laki dan perempuan yang bekerja atau mengurus rumah tangga. Sebagai ilustrasi, katadata.co.id mengacu pada BPS DKI Jakarta yang memiliki data penduduk bekerja di wilayahnya.

Akan ada 43,3 ribu perempuan usia 15-19 tahun yang bekerja di Jakarta pada 2022. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada kelompok usia yang sama yakni 40,9 ribu orang.

Namun, jumlah perempuan yang bekerja di atas usia 19 tahun—memasuki usia menikah dan memiliki anak—lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sejalan dengan itu, jumlah pekerja laki-laki di Jakarta juga meningkat secara signifikan pada kelompok usia berikut.

Sejumlah anak usia 0-17 tahun di Indonesia juga hanya tinggal bersama ibu kandungnya. Menurut Kementerian PPPA, keadaan ini disebabkan ayah bekerja di luar kota, orang tua bercerai (bercerai), atau ayah meninggal dunia (bercerai).

Data BPS yang diolah Kementerian PPPA menunjukkan 8,3% anak tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka ini meningkat sekitar 2-3% dibandingkan sembilan tahun sebelumnya.

Sementara itu, ada juga keluarga yang mengalami keadaan sebaliknya, sehingga sang anak tinggal bersama ayah kandungnya. Persentasenya tercatat sebesar 2,5% pada tahun 2018, atau tiga kali lebih rendah dibandingkan anak yang tinggal bersama ibu kandungnya.

Meski begitu, menurut Rutgers Indonesia, anak yang tinggal bersama sang ayah belum tentu diasuh atau diasuh langsung oleh sang ayah. “Ayah mungkin akhirnya menyerahkan pengasuhan anak sehari-hari kepada saudara perempuan mereka,” tulis organisasi itu.

Sementara itu, data BPS terakhir yang diolah Kementerian PPPA hanya menyebutkan persentase anak yang tidak tinggal dengan kedua orang tuanya sebesar 3,8% pada tahun 2021. Data tersebut tidak lagi membedakan antara anak yang tinggal dengan ibu atau ayah kandungnya.

Ayah memiliki peran yang sama pentingnya dengan ibu dalam perkembangan anak. Peran itu dapat ditunjukkan dengan meluangkan waktu dan melakukan aktivitas bersama anak. Misalnya makan bersama, mengobrol, mengajar atau menemani anak mengerjakan tugas sekolah, dan bersantai.

Namun, para ayah seringkali memiliki sedikit waktu, tidak punya waktu, atau bahkan tidak menyediakan waktu untuk itu, karena harus bekerja dan setuju dengan budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dotti Sani dan Treas (2016) dengan judul “Educational Gradient in Parents’ Child Care Time Across Countries, 1965–2012” dalam Jurnal Pernikahan dan Keluarga menunjukkan bahwa anak-anak menghabiskan lebih sedikit waktu dengan ayah dibandingkan dengan ibu di beberapa negara.

Di Amerika Serikat, ibu menghabiskan rata-rata 104 menit per hari untuk mengasuh anak mereka, dibandingkan dengan 59 menit per hari untuk ayah antara tahun 1998-1999. Prancis memiliki perbedaan waktu yang lebih buruk, yaitu 106 menit sehari untuk ibu dibandingkan dengan 29 menit sehari untuk ayah.

Pola yang sama juga terjadi di negara-negara Nordik, yaitu Denmark dan Norwegia, yang secara umum memiliki laporan yang baik tentang kesetaraan gender di masyarakatnya.

Meskipun demikian, Dotti Sani dan Treas menemukan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan anak-anak dengan ayah mereka meningkat di tahun-tahun berikutnya, bahkan mencapai 100 menit sehari di beberapa negara.

Tak hanya kuantitas, kualitas waktu yang dihabiskan anak dan ayah juga perlu diperhatikan. Misalnya bagaimana sikap ayah dalam menghabiskan waktu bersama anak, lalu bagaimana cara ayah menunjukkan kasih sayang, perhatian dan dukungan kepada anak.

Sebab, Opondo dkk. (2016) dalam artikel “Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sejak dini dan hasil perilaku pada anak praremaja mereka” dalam jurnal BMJ Terbuka mengungkapkan aspek psikologis dan emosional keterlibatan ayah memiliki dampak yang lebih besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak.

Akibatnya, menurut Allport et al. (2018) dalam artikel “Promoting Father Involvement for Child and Family Health” dalam jurnal tersebut Pediatri AkademikKehadiran dan peran ayah yang berkualitas akan meningkatkan kemampuan kognitif dan kesehatan mental anak.

Kementerian PPPA juga menyebutkan, keterlibatan ayah berdampak positif bagi anak, yakni anak akan tumbuh menjadi orang dewasa dengan kematangan psikologis sesuai dengan usia biologisnya. Ini berguna dalam memecahkan masalah yang dihadapi anak di masa depan.

Selain itu, kebiasaan ayah untuk menghabiskan waktu bersama anak merupakan bentuk dukungan terhadap ibu yang masih cenderung lebih mengurus anak dan rumah tangga. Opondo dkk. Selain itu, juga dapat mengurangi depresi yang dirasakan para ibu.

Dengan begitu, kehadiran ayah secara fisik dan emosional dalam kehidupan anak dan keluarganya justru menciptakan keluarga ideal itu sendiri.

Similar Posts