Hari ini, Anda mungkin telah mengunggah konten ke Instagram Story Anda, mengeluh tentang beberapa tweet di Twitter, atau membuat video pendek di TikTok. Anda mungkin juga telah berinteraksi di platform media sosial lainnya.
Atau, Anda yang merupakan pengguna pasif mungkin hanya melihat-lihat postingan teman Anda di Facebook, sambil sesekali menekan tombol Cintaserta menonton video menghibur di YouTube.
Semua perilaku ini tampaknya tidak berbahaya, sebenarnya kita sudah terbiasa dengannya setiap hari. Bangun tidur kini tidak lagi dilanjutkan dengan mandi pagi, melainkan mengecek media sosial terlebih dahulu.
Kehadiran internet dan media sosial memang dipandang sebagai jawaban dari gaya hidup yang lebih berkelanjutan, seperti dikutip dari Earth.org. Sebab, kita tidak lagi membutuhkan koran dan buku untuk berbagi berbagai informasi, cukup melalui layar gadget yang kita miliki.
Namun, perilaku kita di platform media sosial juga menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) yang berbahaya bagi lingkungan. Hasil pengukuran Greenspector menunjukkan emisi yang dihasilkan dari bergulir TikTok akan menjadi yang terbesar, dengan 2,63 gram CO2 per menit pada tahun 2021.
Sementara itu, aktivitas yang sama di Snapchat, Facebook, LinkedIn, Twitter, Twitch, dan YouTube masing-masing mengeluarkan kurang dari satu gram CO2 per menit.
Lantas, bagaimana dengan emisi CO2 dari pengguna media sosial di Indonesia?
Kami Sosial menyatakan bahwa setiap pengguna di Indonesia rata-rata menggunakan media sosial selama tiga jam 18 menit per hari pada Januari 2023. Sebagian besar waktu tersebut dihabiskan untuk membuka TikTok dan YouTube, masing-masing selama 58 menit dan 53,6 menit per hari.
Kemudian, 30,8 menit digunakan untuk mengakses Instagram dan 29,2 menit untuk Facebook setiap harinya. Kami berasumsi 26,4 menit tersisa untuk bermain di Twitter, karena platform ini adalah salah satu yang paling banyak diakses oleh pengguna di Indonesia.
Jika rata-rata waktu penggunaan media sosial dikalikan dengan emisi CO2 yang dihasilkan oleh masing-masing platform per menit, maka totalnya adalah 248,4 gram CO2 per hari untuk satu pengguna. Jumlah tersebut didominasi oleh TikTok dengan 152,5 gram CO2, sedangkan Twitter memiliki angka terendah dengan 15,8 gram CO2.
Dengan begitu, dalam setahun, setiap orang di Indonesia menyumbang sekitar 90,7 kilogram CO2 dari penggunaan media sosial saja. Jumlah tersebut setara dengan emisi CO2 yang dihasilkan dari berkendara sejauh 640 km—kira-kira antara Jakarta dan Madiun—dengan mobil kecil berbahan bakar minyak.
Total emisi CO2 dari penggunaan media sosial mungkin rendah. Namun, hasil simulasi emisi CO2 di atas sebenarnya hanya menunjukkan angka minimal.
Greenspector baru-baru ini diukur emisi CO2 yang dihasilkan dari bergulir setiap platform media sosial, tidak termasuk emisi saat pengguna mengunggah konten dan berinteraksi dengan pengguna lain. Mengunggah dalam bentuk gambar atau video tentu menghasilkan emisi CO2 yang lebih tinggi.
Simulasi kami juga terbatas pada media sosial, menggunakan data yang tersedia. Kami tidak menyertakan emisi CO2 dari penggunaan internet yang lebih luas, seperti surelpesan instan (WhatsApp), platform mengalir video dan musik (Netflix dan Spotify), dan mesin pencari Google.
Sebagai gambaran, Google menyebut salah satu pencarian di platformnya menghasilkan 0,2 gram CO2 pada 2009. Kemudian, menurut Mike Berners-Lee dalam bukunya Seberapa Buruk Pisang? Jejak Karbon Segalanya (2010), satu surel dapat menghasilkan empat gram CO2.
Meski, keduanya merupakan perhitungan 13-14 tahun lalu, jumlahnya mungkin kini sudah bertambah. Sedangkan menurut perhitungan Netflix, satu jam mengalir pada platformnya untuk mengeluarkan emisi di bawah 100 gram CO2 pada tahun 2020.
Tak hanya itu, jumlah emisi CO2 tidak dikalikan dengan jumlah pengguna media sosial secara nasional. Data Kami Sosial menunjukkan total 167 juta pengguna per Januari 2023. Hasilnya, Indonesia menyumbang sedikitnya 15,1 juta ton CO2 per tahun dari penggunaan media sosial.
TikTok merupakan media sosial yang paling banyak menghasilkan emisi CO2, baik secara umum maupun dalam konteks penggunanya di Indonesia. Salah satu alasannya adalah konsumsi energi dan pertukaran data dari aktivitas di media sosial dari China termasuk yang tertinggi.
Berdasarkan hasil pengukuran GreenspectorTikTok membutuhkan energi hingga 15,81 mAh per menit bergulir di peron. Jumlah itu hampir dua kali lipat energi yang dibutuhkan oleh YouTube.
Kemudian, pertukaran data untuk aktivitas yang sama di TikTok tercatat sebesar 96,23 MB per menit, hanya lebih rendah dari Reddit sebesar 100 MB per menit. Sedangkan untuk Twitch, Twitter, dan YouTube angkanya kurang dari 10 MB per menit.
Meluncurkan BBC Berjangkakonsumsi energi dan pertukaran data dapat terjadi karena terhubung ke pusat data dan server. Pusat ini menyimpan konten yang kita buat dan butuhkan di media sosial.
Berdasarkan catatan CloudSceneada hampir 8.000 pusat data di 110 negara per Januari 2021. 33% di antaranya berlokasi di Amerika Serikat.
Profesor di Universitas Simon Fraser Laura Marks mengatakan pusat data dan server membutuhkan listrik dalam jumlah besar untuk beroperasi, seperti dikutip dari Anjing laut. Sementara itu, banyak pusat data dan server terletak di negara-negara yang belum menggunakan energi terbarukan.
Oleh karena itu, dengan bertambahnya jumlah pengguna dan aktivitasnya di media sosial, akan membuat pekerjaan yang dilakukan oleh pusat data dan server. Perusahaan media sosial mungkin juga perlu mendirikan pusat lain. Akibatnya, semakin banyak emisi CO2 yang dihasilkan.
Emisi CO2 media sosial juga berasal dari alat dan jaringan internet yang kita gunakan. Keduanya membutuhkan tenaga dan energi, biasanya dari listrik, untuk menghidupkan dan terhubung dengan media sosial.
Sedangkan CO2 merupakan gas rumah kaca yang paling berbahaya. mengikuti Nasional geografis, jumlahnya kini tercatat tertinggi dalam sejarah, karena penggunaan bahan bakar fosil terus meningkat. Fungsi CO2 yang menyerap panas matahari juga mempengaruhi perubahan iklim.