Keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengikuti kontestasi pemilihan presiden (Pilpres 2024) menimbulkan kekhawatiran terhadap proses pemilu yang jujur dan adil serta kualitas demokrasi di negeri ini.
Jokowi menyatakan tidak akan netral karena itu untuk kepentingan nasional, bukan kepentingan pribadi atau golongan. “Saya harus hati-hati,” kata Presiden saat ditemui pimpinan media massa di Istana Merdeka, Senin, 29 Mei 2023. “Mohon dipahami, ini demi kepentingan negara. Memilih pemimpin di tahun 2024 sangat penting, sangat penting. Itu harus akurat dan benar!”
Beberapa waktu sebelumnya, Jokowi juga memanggil pimpinan umum partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahannya ke Istana. Ketua umum partai itu menepis Partai Nasdem yang telah mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presiden.
Menurut dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad, sebagai kepala negara Jokowi sebenarnya memiliki sumber daya yang cukup yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. “Kami tahu komitmen ini, selama beberapa tahun terakhir, telah diragukan oleh banyak pihak,” katanya Katadata.co.idRabu, 31 Mei 2023.
Jika mampu mengawal penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, menurut Nyarwi, Presiden bisa menyelamatkan Indonesia dari gelombang kemunduran demokrasi yang melanda beberapa negara dalam beberapa tahun terakhir. “Kalau ini bisa direalisasikan, tentu akan warisan luar biasa dari Presiden Jokowi,” katanya.
Menurut Nyarwi, pernyataan cawe cawe berpotensi menimbulkan berbagai interpretasi karena terkait dengan posisi, prioritas, dan subjektivitas Jokowi sebagai presiden. Apalagi yang diperbincangkan adalah soal peralihan kepemimpinan negara yang bisa memicu spekulasi.
Meski sudah dijelaskan, Nyarwi menilai pernyataan Jokowi itu masih bisa berdampak luas. Tak hanya pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh potensial calon presiden dan wakil presiden. Tapi juga bisa memobilisasi barisan relawan setia Jokowi.
“Tidak hanya itu, pengaruh ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan bisa merembet ke lingkungan birokrasi, hingga ke TNI/Polri,” ujar Nyarwi yang juga Direktur Eksekutif Studi Kepresidenan Indonesia (IPS).
“Saya kira skala pengaruh ini harus dikelola dengan bijak oleh Presiden Jokowi dan tokoh-tokoh yang ada di lingkaran terdekatnya sekarang.”
Selama beberapa tahun terakhir, jika dilihat dari formalitas penyelenggaraan pemilu dan fungsi pemerintahan, kualitas demokrasi di Indonesia memang semakin membaik. Namun, beberapa indikator lainnya cenderung tetap tidak berubah. Padahal, indikator kebebasan sipil dan budaya politik justru mengalami kemunduran.
Hal itu terlihat dari skor Indeks Demokrasi 2022 yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam indeks ini, Indonesia mendapat skor 6,71 dari skala 0-10. Posisi Indonesia pun turun dari peringkat 52 menjadi 54 dari 167 negara.
Skor tersebut tidak berubah dari indeks tahun 2021, namun mengalami penurunan dibandingkan tahun 2014 ketika peralihan dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo mengambil alih kursi kepresidenan.
EIU mencatat, penurunan indeks demokrasi terjadi pada indikator kebebasan sipil. Pada 2010, skornya tercatat 7,06 menjadi 6,18 pada 2022. Di tahun pertama pemerintahan Jokowi, begitu sapaan Joko Widodo, harapan kebebasan sipil membumbung tinggi. Hal ini terlihat dari indikator Civil Liberties yang mencapai nilai tertinggi yaitu 9,12.
Begitu pula dengan indikator budaya politik. Dari 5,63 pada tahun 2010 menjadi 4,38 pada tahun 2022. Budaya politik mengacu pada perilaku masyarakat dalam kehidupan berbangsa yang meliputi unsur hukum, norma, dan penyelenggaraan negara.
Dalam laporannya, EIU menyebut Indonesia sebagai demokrasi yang lemah (demokrasi yang cacat). Negara-negara dalam kategori ini dicirikan oleh pemilihan umum dan penghormatan terhadap kebebasan sipil, tetapi memiliki beberapa masalah mendasar. Misalnya, kebebasan pers yang rendah, budaya politik yang anti kritis, partisipasi politik warga yang buruk, dan kinerja pemerintah yang kurang optimal.
Temuan EIU tentang penurunan indeks demokrasi Indonesia serupa dengan indeks kebebasan yang disusun oleh Freedom House, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat. Tren skor kebebasan di Indonesia terus menurun dari 65 pada tahun 2013 menjadi 58 pada tahun 2023, dari skala penilaian 0-100.
Freedom House mengukur dua indikator kebebasan, yaitu kebebasan sipil dan hak politik. Dari dua indikator tersebut, Indonesia cenderung stagnan. Data ini mencerminkan kualitas ruang kebebasan sipil yang merupakan elemen kunci dalam demokrasi.
Dari beberapa data terlihat bahwa minimnya ruang kebebasan sipil berjalan beriringan dengan meluasnya represi aparat terhadap kritik publik. Selain itu, masih ada peraturan daerah yang dianggap membatasi kebebasan sipil.
Dalam Publikasi Statistik Politik Tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 94 peraturan yang secara substansial membatasi kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi, berpendapat, dan berkeyakinan. Aturan ini tersebar di 24 provinsi. Tiga daerah dengan jumlah terbesar adalah Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Dalam lima tahun terakhir, Komisi Orang Hilang dan Korban Terorisme (KontraS) menemukan total 965 pelanggaran kebebasan sipil. Meski terjadi penurunan pada 2021 dan 2022, KontraS menyatakan represi negara terhadap kebebasan sipil terus meningkat. Termasuk melalui produk hukum yang dihasilkan, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam catatan KontraS, polisi mendominasi pelaku pelanggaran kebebasan sipil. Tindakan yang sering dilakukan adalah pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, hingga penganiayaan. Perbuatan tersebut mengakibatkan korban tertangkap, ada yang luka-luka dan meninggal dunia.
Menurut Pusat Pengkajian Hukum dan Kebijakan Hukum (PSHK), maraknya pelanggaran hak-hak sipil dan reaksi aparat dalam menanggapi kritik terhadap pemerintah, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami fenomena penyempitan hak asasi manusia. ruang bagi manusia untuk bergerak. Sedangkan ruang sipil atau tempat umum memungkinkan masyarakat sipil mengambil peran dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial.
Aktor masyarakat sipil yang dimaksud adalah warga negara, baik individu maupun kelompok. Mereka berhak atas kebebasan berbicara, berpendapat, berserikat dan berdialog dengan pihak-pihak yang terkait dengan isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka, kata PSHK dalam sebuah studi yang dirilis pada Desember 2022.