Penyanyi Lesti Kejora (23 tahun) mengalami kekerasan dari suaminya Rizky Billar (27 tahun). Akibatnya, Lesti terluka dan harus dirawat di rumah sakit. Ia telah melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), seperti yang dialami Lesti Kejora, menimpa banyak perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di ranah privat. Pelaku adalah orang yang ada hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, atau hubungan intim (pacaran) dengan korban.
Komnas HAM membagi kekerasan dalam rumah tangga menjadi beberapa jenis, seperti kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP), kekerasan terhadap mantan suami (KMS), kekerasan terhadap mantan pacar (KMP). , kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, dan domain pribadi lainnya.
Kekerasan di ranah privat paling banyak terjadi dibandingkan kekerasan di ranah publik atau negara. Tingginya jumlah kasus membuat isu tersebut tidak menjadi bahan lelucon, seperti yang dilakukan oleh pasangan artis Baim Wong dan Paula Verhoeven yang membuat konten kekerasan dalam rumah tangga di saluran YouTube mereka.
(Baca: Potret “Layang-Layang Cerai” Penyebab Perceraian di Indonesia)
Menurut Laporan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2022, kekerasan terhadap istri meningkat di tahun 2021 dibandingkan tahun 2020. Meski angkanya cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Penurunan kasus ditengarai karena sulitnya korban melaporkan kasusnya seiring dengan pembatasan kegiatan sosial akibat pandemi Covid-19. Namun, pada tahun kedua wabah, mulai memberikan akses laporan online, jumlahnya menunjukkan peningkatan. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk mengadukan kasus tersebut juga semakin meningkat.
(Baca: Potensi Masalah di Balik Rencana Atta Halilintar Punya 15 Anak)
Meski kasus menurun, kekerasan terhadap istri masih tinggi setiap tahun. Komnas Perempuan menyatakan kekerasan terhadap istri mendominasi dengan total 3.404 kasus.
Faktor Bisnis
Ada yang menyebut penyebab kasus KDRT Rizky Billar karena ketahuan selingkuh. Hal ini sejalan dengan penelitian Evi Tri Jayanthi yang diterbitkan dalam jurnal Dimensia pada tahun 2009. Dalam penelitian tersebut, faktor utama penyebab kekerasan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan dalam kasus ini dilakukan sang suami dengan wanita lain.
Dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, prevalensi kekerasan fisik terhadap istri lebih tinggi dilakukan oleh suami yang berselingkuh. Istri yang suaminya berselingkuh berpotensi mengalami kekerasan fisik sebesar 36,48% dibandingkan dengan suami yang tidak berselingkuh.
Selain itu, risiko kekerasan fisik atau seksual terhadap istri suami yang berselingkuh 2,48 kali lebih tinggi.
Tapi itu bukan hanya bisnis. Masalah ekonomi juga sering menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hak menafkahi istri atau anak bagi bapak, jika tidak dipenuhi dapat menimbulkan konflik dalam rumah tangga.
Budaya patriarki yang masih melekat kuat juga menjadi faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Istilah ini menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan. Anggapan ini menimbulkan sikap ketergantungan perempuan (istri) kepada suaminya. Wanita dianggap lemah dan tidak berdaya.
SPHPN juga menunjukkan bahwa setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan KDRT marak terjadi di Indonesia. Pertama, faktor individu perempuan. Perempuan yang melakukan perkawinan tidak tercatat, kawin kontrak dan lainnya 1,42 kali lebih berisiko mengalami kekerasan fisik atau seksual dibandingkan dengan perempuan yang menikah secara resmi atau diakui oleh negara.
Kedua, faktor mitra. Perempuan yang suaminya memiliki istri/pasangan lain 1,34 kali lebih berisiko mengalami kekerasan fisik atau seksual. Kemudian wanita yang suaminya selingkuh memiliki risiko 2,48 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik atau seksual dibandingkan wanita yang suaminya tidak selingkuh.
Ketiga, faktor ekonomi. Semakin rendah tingkat kesejahteraan, semakin tinggi risiko kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan dari 25% rumah tangga termiskin lebih berisiko mengalami kekerasan daripada suami mereka. Risiko yang mereka hadapi 1,4 kali lebih besar dari kelompok 25% terkaya.
Keempat, faktor sosial budaya. Perempuan yang dibayangi rasa takut akan kejahatan memiliki risiko 1,68 kali lebih besar untuk mengalami kekerasan dibanding suaminya. Sementara itu, perempuan yang tinggal di perkotaan 1,2 kali lebih mungkin mengalami kekerasan dari suaminya dibandingkan perempuan yang tinggal di perdesaan.
Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik, seperti menampar, memegang, meninju, menginjak. Kemudian kekerasan psikis seperti makian, ancaman, dan penelantaran rumah tangga.
Data Catahu 2022 menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga didominasi oleh kekerasan psikis sebanyak 3.737 kasus. Kemudian disusul dengan kekerasan fisik yang mencapai 3.449 kasus pada tahun 2021.
Hambatan Ppelaksanaan UU PKDRT
Meski sudah ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PDKRT) sejak 2004, implementasinya masih belum optimal. Korban seringkali menghadapi kendala ketika membawa kasusnya ke ranah hukum dan keadilan.
Komnas Perempuan menyatakan bahwa salah satu kendala utama adalah status perkawinan korban (nikah di luar nikah).
“Tafsir aparat penegak hukum mengenai ruang lingkup perkawinan dalam UU PKDRT adalah perkawinan dicatatkan, sehingga kekerasan terhadap perempuan di luar perkawinan tidak tercakup,” tulis Komnas Perempuan.