liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
MASTER38 MASTER38 MASTER38 MASTER38 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 BOSSWIN168 COCOL88 COCOL88 COCOL88 COCOL88 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MABAR69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 MAHJONG69 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 RONIN86 ZONA69 ZONA69 ZONA69 NOBAR69 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38 ROYAL38
SLOT GACOR HARI INI SLOT GACOR HARI INI
BOSSWIN168 BOSSWIN168
BARON69
COCOL88
MAX69 MAX69 MAX69
COCOL88 COCOL88 BARON69 RONIN86 DINASTI168
Kecemasan Gen Z di Balik Gemerlap Citayam Fashion Week

Kecemasan Gen Z di Balik Gemerlap Citayam Fashion Week

6 minutes, 34 seconds Read

Pemuda kelas bawah dari pinggiran kota menginjakkan kaki di ibu kota. Di jantung kawasan bisnis Jakarta, anak-anak paruh baya yang dikenal secara demografis sebagai Generasi (Gen) Z menggelar peragaan busana bertajuk “Citayam Fashion Week”.

Aksi yang awalnya dilakukan secara spontan kemudian viral di media sosial ini langsung menyedot perhatian publik, mulai dari selebritis hingga politisi. Tidak hanya di Jakarta, tapi menyebar ke daerah lain di tanah air. Bahkan ada yang menyamakan fenomena ini dengan Harajuku Street versi Jepang versi Indonesia.

Meski tak semua yang datang ke Citayam Fashion Week berasal dari kawasan selatan Jakarta, penyebutan nama Citayam terbilang melecehkan. Citayam adalah nama sebuah kampung di perbatasan Depok dan Bogor, tempat asal Bonge, Kurma, Jeje Slebew, dan Roy—icon Citayam Fashion Week.

Citayam Fashion Week bermula ketika sekelompok remaja putus sekolah berbondong-bondong menuju KRL menuju kawasan Sudirman untuk nongkrong dan nongkrong. Mereka berpakaian eksentrik, mengikuti tren fesyen terkini, namun terlihat lusuh. Ini berbeda dengan kemeja dan celana panjang pekerja kerah putih di kawasan Sudirman.

(Foto: Fenomena Citayam Fashion Week, dari Ruang Publik untuk Publik)

Sudirman Business Center District (SCBD) merupakan salah satu pusat bisnis di Jakarta. Ini dikenal sebagai kawasan elit dan menampung kantor berbagai perusahaan, terutama di perusahaan energi, keuangan, hukum, dan konsultan.

Tak hanya perkantoran, kawasan yang terletak di seberang Gelora Bung Karno ini memiliki pusat perbelanjaan Pacific Place. Tak jauh dari situ, Jalan Senopati memiliki deretan kafe dan restoran tempat nongkrong para pekerja dan anak muda kelas atas sambil menunggu lalu lintas mereda. Nongkrong di tempat-tempat yang mungkin sulit dijangkau anak-anak Citayam.

Dari episode tersebut, SCBD menemukan akronim baru yang lebih merakyat, yaitu Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok sesuai dengan daerah asal pemuda tersebut.

Kekhawatiran Gen Z

Sebagian besar pelaku Citayam Fashion Week adalah anak muda berusia sekitar 15-24 tahun. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, kelompok usia ini termasuk dalam kategori Gen Z dengan jumlah 74,9 juta jiwa atau 22,9% dari total populasi.

Mereka adalah bagian dari potensi bonus demografi yang dihadapi Indonesia. Jumlah sebesar itu bukan hanya memberikan potensi bonus, tapi dikhawatirkan menjadi bencana demografi yang bisa meledak di masa depan.

Bagi Gen Z, situasi ini menimbulkan kekhawatiran. Hal itu terungkap dalam survei Alvara Strategic Center yang dirilis Juni 2022 lalu. Dalam survei tatap muka terhadap 1.529 responden, ditemukan bahwa Gen Z cenderung merasa lebih cemas dibandingkan dua generasi sebelumnya.

“Berbeda dengan Gen X yang lebih teruji mentalnya, karena mereka sudah memiliki banyak pengalaman dalam mengatasi stres,” tulis Alvara dalam penelitiannya.

Beberapa masalah yang mereka khawatirkan terkait dengan kehidupan pribadi mereka. Misalnya, kurangnya pekerjaan, pendapatan, dan kemiskinan yang akan mereka hadapi di masa depan.

Roy (17) adalah salah satu pelopor Citayam Fashion Week. Remaja bernama asli Aji Afriandi ini hanya mengenyam pendidikan hingga kelas tiga sekolah dasar dan kemudian bekerja untuk menghidupi ekonomi keluarganya. Apa yang dialami Roy adalah tipikal anak dari keluarga miskin yang putus sekolah untuk bekerja.

Sempat viral di TikTok, Roy mendapat tawaran beasiswa dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Tapi dia menolak tawaran itu. Roy beralasan sekolah hanya akan menunda dia mencari uang untuk keluarganya.

Apalagi, menurutnya pendidikan tidak menjamin dia mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Daripada kuliah lebih tinggi, dia lebih memilih membuat konten yang bisa menghasilkan uang.

“Saya mau kerja saja. Paling tidak sekolah tidak ada gunanya, sekarang ini masuk SMA adalah cara termudah untuk menjadi OB. Sekarang susah cari kerja,” ujar Roy seperti dikutip dari Instagram @hak. indo pada Senin, 11 Juli 2022.

Angka kemiskinan pascapandemi Covid-19 memang menunjukkan penurunan. Pada Maret 2022, angka kemiskinan tercatat sebesar 9,5%, sebanyak 26,2 juta orang, turun 1,4 juta orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meskipun demikian, jumlah anak di bawah garis kemiskinan lebih banyak daripada orang dewasa.

Pada Maret 2021, persentase penduduk di bawah garis kemiskinan pada kelompok usia di bawah 18 tahun tercatat sebesar 12,64%. Angka tersebut lebih tinggi dari kelompok usia 18 tahun dan lebih dari 9,09%.

Kajian yang dilakukan oleh SMERU Institute menyatakan bahwa anak-anak yang hidup dalam keluarga miskin akan lebih sulit keluar dari jerat kemiskinan di masa depan. Penyebab kemiskinan keluarga membatasi akses anak ke berbagai kesempatan, seperti pendidikan dan layanan kesehatan, yang penting untuk memperbaiki kondisi ekonomi.

Sedangkan anak yang orang tuanya memiliki harta dapat memberikan kesempatan kepada anaknya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Misalnya dengan memberikan tambahan pendidikan nonformal di luar sekolah serta perangkat yang diperlukan untuk keperluan pembelajaran, seperti komputer atau jaringan internet.

Dalam studi ini, SMERU menghitung bahwa pendapatan yang diperoleh anak-anak miskin saat dewasa 87% lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak tinggal di keluarga miskin sejak kecil.

Ancaman Putus Sekolah

Ikon Citayam Fashion Week lainnya seperti Jasmine Laticia alias Jeje (16) dan Eka Satria Putra atau Bonge (16) juga keluar. Jasmine bersekolah hingga kelas tiga SD, sedangkan Eka tidak tamat SD dan menjadi pengamen.

Potret putus sekolah seperti yang dialami anak-anak “Citayam” tentu bukan hal yang mengejutkan di Indonesia. Andreas Tambah, anggota Komisi Pendidikan Nasional mengatakan, fenomena ini disebabkan oleh pesimisme sebagian masyarakat terhadap pendidikan di negeri ini.

“Banyak sekolah negeri yang digratiskan, tapi kenapa banyak yang tidak menyekolahkan anaknya? Ini yang harus diperhatikan pemerintah,” kata Andreas saat dihubungi Katadata, Senin 25 Juli 2022.

Apalagi, ada fenomena bahwa tamat SMA dan kuliah tidak menjamin mendapat pekerjaan yang sesuai. Situasi ini membuat banyak Gen Z memilih untuk mengambil jalur langsung seperti membuat konten media sosial untuk mencari nafkah.

“Ada dunia lain yang menawarkan ketenaran lebih cepat, viralitas lebih cepat, lebih cepat, dan uang lebih cepat. Ini adalah metode langsung yang dikejar oleh anak-anak,” katanya.

Mengutip data BPS, persentase anak yang putus sekolah semakin tinggi tingkat pendidikannya. Hanya terdapat 0,65% anak yang tidak bersekolah di SD/sederajat, sedangkan terdapat 21,47% anak di SMP/sederajat yang tidak bersekolah.

Kualitas pendidikan di Indonesia juga belum sepenuhnya baik. Mengutip data Bank Dunia, Indonesia memiliki waktu belajar yang memperhitungkan kualitas pembelajaran atau learning-adjusted years of school (LAYS) selama 7,83 tahun, jauh di bawah ekspektasi 12,4 tahun.

Situasi waktu belajar yang relatif sedikit ini berpotensi menjadi lebih buruk setelah memperhitungkan kemungkinan terjadinya learning loss akibat pandemi Covid-19.

Jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, rata-rata lama studi Indonesia berada di tengah. Indonesia kalah dari negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Vietnam dan Singapura.

Hilangnya waktu belajar ini berpotensi menurunkan tingkat pendapatan tenaga kerja Indonesia di masa mendatang hingga maksimal 5,4%. Pendapatan rata-rata ini turun dari US$1.629 per tahun menjadi US$1.590 per tahun.

Hal ini sekaligus menyebabkan rata-rata pendapatan tahunan penduduk Indonesia di Asia Tenggara menurun. Di bawah skenario learning loss yang pesimistis, Indonesia juga diperkirakan akan kehilangan total pendapatan seumur hidup sebesar US$55,17 miliar. Kerugian ini dapat dikurangi menjadi US$25,6 miliar dalam skenario optimis.

Pekerjaan Terbatas

Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo menilai keputusan Roy menolak beasiswa dari Sandiaga Uno karena pendidikan formal Indonesia yang masih belum mencakup literasi digital.

Dijelaskan Imam, saat ini dunia berada dalam budaya digital global atau world digital culture dimana literasi digital itu penting. Dia menyayangkan pemerintah tidak membuat infrastruktur pendidikan yang memadai untuk itu.

“Bahkan jika anak-anak pergi ke sekolah, mereka tidak tertarik. (Sekolah) tidak memenuhi keinginan mereka,” kata Imam kepada Katadata.co.id, Senin 25 Juli 2022.

Preferensi Roy dan pilihan anak-anak Gen Z untuk menjadi pembuat konten sejalan dengan tren di pasar tenaga kerja. Tingkat pekerjaan informal di sektor non-pertanian melonjak, terutama bagi pekerja berusia antara 15 dan 24 tahun sejak tahun pertama pandemi.

Di Depok, Jawa Barat, misalnya, proporsi tenaga kerja informal berstatus buruh terus menurun. Dari 69,4% pada 2020 menjadi 60,4% pada 2021. Sementara itu, rasio pekerja lepas di sektor nonpertanian meningkat dari 2,3% menjadi 4,2% pada periode yang sama.

Pandemi telah meningkatkan jumlah pemuda yang menganggur dan tidak bersekolah atau pelatihan menjadi 22,4% pada tahun 2021. Meskipun telah menurun sejak tahun pertama pandemi, masih sedikit lebih tinggi dari level yang terlihat pada tahun 2019.

Meski pasar tenaga kerja berangsur pulih, pandemi Covid-19 menekan sektor formal. Perusahaan dengan bisnis non-esensial harus menangguhkan kegiatan produksi dan mengurangi tenaga kerja mereka untuk bertahan hidup. Penurunan ini mendorong pekerja kembali ke sektor informal.

Selain menekan sektor formal, pembatasan aktivitas masyarakat di masa pandemi juga mendorong ekonomi digital tumbuh pesat. Media sosial seperti TikTok merevolusi cara menghasilkan pendapatan.

Membuat konten media sosial merupakan pekerjaan yang dapat mengakomodir kebutuhan warga usia kerja tanpa latar belakang pendidikan tinggi, seperti Roy, Jeje, dan Bonge.

Similar Posts