Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengeluhkan minimnya dokter spesialis di Tanah Air. Menurut catatan kementerian, Indonesia membutuhkan sedikitnya 18.000 dokter spesialis tambahan.
Dokter spesialis tersebut antara lain dokter kandungan, dokter kandungan, dokter anak, penyakit dalam, dokter bedah dan lain-lain. Kementerian Kesehatan mengatakan kekurangan dokter antara lain karena hanya sedikit institusi pendidikan yang memiliki program spesialisasi.
Selain itu, distribusi dokter spesialis dan fasilitas kesehatan tidak merata. Ketersediaan terbesar masih berpusat di Pulau Jawa. Hal inilah yang coba dilakukan pemerintah melalui kajian terhadap beberapa undang-undang di bidang kesehatan.
“Orientasi dari pengujian undang-undang ini adalah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat,” kata Budi suatu ketika. (Baca juga: Dokter ahli adalah barang langka)
Terlepas dari permasalahan tersebut, Katadata menemukan bahwa tidak mudah bagi seorang dokter umum untuk mengikuti pendidikan spesialis. Selain memakan waktu lama, biaya yang dikeluarkan cukup besar.
Ini seperti yang digambarkan dalam komik strip di bawah ini.
Pendidikan kedokteran dimulai dari tingkat sarjana yang memakan waktu sekitar 6-7 tahun. Ini terdiri dari waktu studi sarjana, bantuan co-hospital, dan pendidikan profesional. Gelar doktor diperoleh setelah seseorang lulus uji kompetensi.
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dapat diikuti oleh seorang dokter apabila telah menjalani pelatihan umum minimal selama satu tahun. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk mengikuti program ini, minimal ratusan juta dari awal kuliah hingga lulus.
Tak hanya itu, kursi untuk PPDS juga sangat terbatas. Intan, bukan nama sebenarnya menyebut, butuh usaha ekstra untuk mendapatkan kesempatan ini. (Baca juga: Jam Kerja Panjang Tanpa Gaji, Beban Berat Menjadi Dokter Residen)
Meski tidak diwajibkan, dokter yang ingin melanjutkan PPDS harus memiliki surat keterangan baik dari pejabat rumah sakit, dosen perguruan tinggi, atau pejabat daerah. Kata Intan, surat rekomendasi ini seringkali menjadi penentu seseorang masuk PPDS atau tidak.
“Kalau nilainya sama, maka yang punya surat rekomendasi dimasukkan. Tidak jarang dokter yang sebenarnya pas-pasan bisa melakukan PPDS berkat surat rekomendasinya,” kata pakar yang berpraktik di Jawa Timur itu.
Selama PPDS, dokter harus menghabiskan waktu di rumah sakit pendidikan untuk pembelajaran langsung atau residensi selama 4-6 tahun. Dokter residen dapat menghabiskan 60-80 jam seminggu di rumah sakit dan tidak dibayar. (Baca juga: Penyebab Masalah Seret Pasokan Dokter Spesialis di Indonesia)
Pakar penyakit jantung, Erta Priadi Wirawijaya mengatakan, mahalnya biaya pendidikan dan tidak dibayarkannya gaji dokter residen membuat PPDS sangat tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
“Banyak dokter yang sebenarnya pintar tapi menolak mendaftar sebagai dokter spesialis karena tidak mampu secara finansial,” kata Erta.