Gelar honoris causa (HC) alias dokter kehormatan di Indonesia rupanya menjadi nilai jual tersendiri. Tidak ada kualifikasi yang jelas bagi penerimanya, malah sarat muatan politik.
Sukarno, presiden pertama Indonesia, memiliki gelar HC terbanyak dalam sejarah negara: 26 gelar. Bung Karno mendapatkannya dari berbagai universitas di dalam negeri dan luar negeri. Jika ada 19 perguruan tinggi luar negeri dan 7 perguruan tinggi dalam negeri yang memberikan gelar kehormatan.
Tak henti-hentinya putrinya, Megawati Soekarnoputri, presiden ke-5 Indonesia tak henti-hentinya berbangga atas sederet gelar kehormatan yang diraihnya: 9 gelar, ditambah 5 masih dalam antrean. Dia juga memegang dua jabatan profesor.
“Masih menunggu lima (gelar HC) lagi karena kemarin ada pandemi,” kata Mega saat berbicara di acara HUT ke-50 PDIP, 10 Januari 2023.
Untuk memastikan kecerdasannya bekerja, Mega tak lupa membandingkan dirinya dengan ibu normal. Ia produktif meski sudah pensiun, dan ibu yang hanya senang belajar.
Namun, pemberian gelar kehormatan di Indonesia dilakukan secara subyektif. Penerima belum tentu berkualitas dan benar-benar berjasa di bidangnya.
Menurut Pasal 4 butir b Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Kehormatan Doktor, syarat bagi penerima HC harus berlatar belakang pendidikan minimal S1 atau setara dengan jenjang 6 (enam) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Ketentuan ini dibatalkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan. Namun ini berarti pemberian gelar HC sebelum tahun 2016 harus mengacu pada aturan sebelumnya.
Sedangkan Megawati tidak pernah menyelesaikan studi sarjananya. Pernah mendaftar di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada tahun 1965 dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 1970, namun tidak lulus.
Sebelum Permenristekdikti No. 65 berlaku Oktober 2016, Megawati menerima gelar HC dalam negeri dari Universitas Padjadjaran, Bandung pada Maret 2016.
Pada saat itu, sebuah petisi muncul change.org untuk mencabut gelar kehormatan Mega, tetapi tidak berhasil.
Selain persyaratan ‘lulusan’ yang dilewati, ada beberapa ketentuan lain yang biasa dilanggar oleh pemberian gelar HC di Indonesia. Soal akreditasi, misalnya, baik Permendikbud Nomor 21 Tahun 2013 maupun Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 juga mengatur bahwa perguruan tinggi yang memberikan gelar harus memiliki akreditasi A.
Bahkan, banyak universitas dengan akreditasi berikut menjual gelar kehormatan. Dalam kasus Mega, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang menganugerahi Mega gelar HC Politik Pemerintahan hanya mendapat akreditasi B di BAN-PT.
Penyidikan secara kalibrasi, Komisi Komponen Ahli IPDN yang menjadi dewan penasehat pemberian gelar kepada Mega adalah AM Hendropriyono dan Da’i Bachtiar. Mereka masing-masing menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) saat Megawati berkuasa.
Selain itu, ada nama Rokhmin Dahuri, Bungaran Saragih, dan Bambang Kesowo yang pernah menjadi anggota kabinet di era Presiden Megawati.
Ada cerita lain tentang Nurdin Halid, mantan narapidana kasus korupsi minyak goreng Bulog, impor gula ilegal, dan pelanggaran bea cukai impor beras. Mendadak menjadi ‘dokter’ di industri olahraga pada 2021. Nurdin Halid mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Pada tahun yang sama, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terlibat kontroversi pengajuan HC untuk Erick Thohir dan Ma’ruf Amin. Ini kali kedua Aliansi Dosen UNJ menolak predikat tersebut sebelum tahun 2020.
Salah satu poin penolakan adalah fakultas yang mengajukan gelar HC kepada Ma’ruf tidak memiliki akreditasi A.
Masalah kan?
Serial ini tidak membahas kontroversi seputar pemberian gelar saat tokoh memegang jabatan publik. Meski tidak ada aturan tertulis yang melarang, pemberian HC kepada pejabat publik dianggap tidak tepat karena dianggap sarat kepentingan politik.
Tapi penjualan judul terus berlanjut.
Airlangga Hartarto misalnya, mendapat HC saat menjadi Menko Perekonomian. Abdul Halim Iskandar, saat menjabat sebagai Menteri Desa, Pembangunan Kabupaten Tertinggal dan Transmigrasi.
Puan Maharani masih memimpin Ketua DPR RI. Pemberian gelar tersebut kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertepatan setahun sebelum masa jabatannya sebagai presiden berakhir. Atau Imam Nahrawi, gelar itu didapatnya saat menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga.
Sejatinya gelar HC determinan diberikan kepada seseorang yang telah berjasa dan atau melakukan karya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Tetapi ini juga tidak memiliki klasifikasi yang jelas tentang apa yang dianggap sebagai ‘pelayanan’ dan ‘pekerjaan’ yang luar biasa.