Aris berselingkuh dengan Lidya saat Kinan hamil. Perselingkuhan itu terungkap hingga menyebabkan bahtera keluarga mereka berantakan. Kinan kemudian menggugat cerai Aris dan diberikan pengadilan yang juga memberinya hak asuh atas anak tersebut. Di akhir cerita, Kinan tersenyum bahagia karena bebannya telah terangkat.
“Tidak apa-apa jika terkadang kita harus kehilangan layang-layang. Tidak apa-apa jika terkadang impian kita tertiup angin karena yang perlu kita pegang adalah diri kita sendiri,” kata Kinan.
Inilah kisah pernikahan yang menimpa pasangan suami istri di serial “The Broken Kite”. Web series yang dibintangi oleh Reza Rahadian, Putri Marino, dan Anya Geraldine ini populer di media sosial. Cerita dalam serial ini diadaptasi dari cerita Mommy ASF atau Eca Prasetya dengan judul yang sama.
Kisah keluarga Aris dan Kinan dalam serial tersebut menggambarkan bagaimana kasus perceraian terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Bukan hanya karena perselisihan dan perselingkuhan, ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab tingginya angka perceraian di negeri ini.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik 2021, angka perceraian cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2020, jumlahnya mencapai 291.677 kasus, turun 33,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun jika dilihat sejak tahun 2015, trennya semakin meningkat.
Data menunjukkan bahwa beberapa faktor penyebab perceraian di Indonesia pada tahun 2020 antara lain perselisihan, ekonomi, desersi, kekerasan dalam rumah tangga, dan poligami.
Perselisihan dan argumen selalu
Statistik mencatat, faktor perselisihan menjadi penyebab perceraian tertinggi yakni sebanyak 176.683 kasus pada tahun 2020. Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga, Jovita Maria Ferliana M.Psi, perselisihan yang terjadi pada pasangan suami istri umumnya terkait dengan hubungan suami istri. ego. Biasanya ada masalah yang terus diangkat dan terjadi lagi dan lagi.
“Konflik ini juga bisa terjadi karena perbedaan pendapat pada pasangan yang tidak bisa didamaikan. Keduanya selalu saling menuntut dan tidak mau mengalah,” kata Jovita kepada Katadata.co.id, Rabu 26 Januari 2022.
faktor ekonomis
Faktor ekonomi biasanya berkaitan dengan berbagai biaya seperti biaya pokok hidup sehari-hari, biaya pendidikan, dan kebutuhan lainnya. Ketika pasangan suami istri tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, biasanya terjadi perselisihan yang berujung pada perceraian.
“Misalnya, karena kondisi ekonomi di bawah rata-rata, kehilangan pekerjaan, dan gaya hidup yang lebih baik, kondisi keuangan tidak pernah mencukupi (untuk menghidupi keluarga). Ini bisa menimbulkan sengketa yang berkepanjangan,” kata Jovita.
Menurut Siti Nuning Suprihatin (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Kemiskinan Terhadap Perceraian di Pengadilan Agama Kota Kediri Tahun 2007, salah satu faktor penyebab perceraian adalah kemiskinan. Apalagi ketika seorang suami tidak mampu menghidupi keluarganya dengan sempurna, sesuai dengan tuntutan hidup yang semakin hari semakin meningkat.
Hal ini bisa terjadi, misalnya saat harga kebutuhan pokok meroket, harga BBM terus naik, biaya pendidikan tidak murah, dan sebagainya.
Keadaan ekonomi ini sejalan dengan laporan BPS yang menunjukkan bahwa semakin miskin atau rendah pendapatan suatu masyarakat, semakin besar pengeluarannya untuk makanan. Sedangkan kegiatan hiburan atau pesta, serta membeli barang lainnya sangat sedikit. Hal ini tercermin dalam masyarakat pedesaan di semua kelompok pembelanjaan, yang membelanjakan lebih banyak untuk makanan daripada bukan makanan.
Berbeda dengan keadaan semakin kaya alias semakin besar pendapatan suatu masyarakat, semakin besar pula pengeluarannya, bukan untuk makan. Di sisi lain, pengeluaran untuk biaya perumahan, barang dan jasa, pendidikan, pesta, hiburan, dll.
Hal ini tercermin dari penduduk di perkotaan yang membelanjakan lebih dari Rp 1,5 juta per kapita per bulan, yang memiliki pengeluaran untuk non makanan lebih tinggi daripada pengeluaran untuk makanan. Total pengeluaran pada kelompok bukan makanan menunjukkan gaya hidup yang besar.
Menurut Nibras Syafriani Manna, Shinta Doriza, dan Maya Oktaviani dalam artikel yang dimuat di jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora (2021), penyebab perceraian karena ekonomi bukan hanya karena kondisi ekonomi di bawah rata-rata, tetapi karena dengan gaya hidup hedonis. Banyak istri yang menggugat cerai suaminya karena tidak bisa memenuhi keinginannya.
Selain masalah suami yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga, faktor ekonomi lain yang mempengaruhi perceraian adalah tidak adanya pekerjaan tetap atau suami malas bekerja. Keadaan ini menyebabkan pendapatan keluarga menjadi tidak menentu sehingga berdampak pada berkurangnya pemenuhan kebutuhan keluarga.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pengangguran di Indonesia cenderung meningkat di masa pandemi. Persentase tenaga kerja Indonesia yang menganggur pada Agustus 2019 sebesar 5,23% kemudian meningkat pada Agustus 2020 menjadi 7,07%. Kemudian, persentasenya sedikit menurun sebesar 0,58% menjadi 6,49% pada Agustus 2021.
Faktor ekonomi juga berasal dari pernikahan dini. Banyak remaja yang tidak memiliki tujuan hidup setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD). Apalagi keadaan masing-masing individu belum siap secara mental dan finansial.
Hal ini sejalan dengan laporan Youth Statistics 2020 yang menunjukkan bahwa kaum muda dari kelompok pengeluaran terendah menikah lebih cepat daripada mereka yang memiliki pengeluaran lebih tinggi.
Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak tahu bagaimana bertahan hidup, dimana salah satu caranya adalah dengan memiliki penghasilan untuk menunjang kebutuhan rumah tangga. Menurut Nibras Syafriani Manna dkk, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan rumah tangga pada pasangan remaja ini menjadi pemicu perceraian.
Mmeninggalkan pesta
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Imam Nahe’i mengatakan, faktor ini bisa terjadi karena perselingkuhan. “Tidak setia pada pasangan baik pada salah satu pasangan atau keduanya. Ini juga yang menyebabkan ketidakharmonisan keluarga,” katanya.
Perselingkuhan antara Aris dan Lidya dalam serial “Kinan Terputus” menyebabkan perselisihan dalam rumah tangga Aris dan Kinan. Alhasil, Kinan mencoba berbagai cara untuk mengajukan gugatan cerai karena tak tahan dengan perlakuan suaminya.
Di Indonesia, istri lebih cenderung mengajukan cerai daripada suami. Laporan Statistik Indonesia 2021 menunjukkan bahwa persentase perceraian yang diklaim oleh perempuan akan mencapai 73,70% pada tahun 2020.
Kecenderungan ini, menurut Nahe’i, menunjukkan semakin banyak perempuan yang berani mengambil risiko perceraian. “Artinya, ada kesadaran penuh perempuan untuk berpisah dari suaminya ketika keadaan keluarga tidak bisa dipertahankan lagi,” ujar Nahe’i.
Sebab, katanya lagi, selama ini perspektif patriarki di Indonesia sering menyalahkan istri ketika ingin menggugat cerai suaminya. Perubahan ini menunjukkan bahwa kesadaran perempuan di tengah budaya stereotip ini semakin meningkat sebagai hasil dari pendidikan dan pemberdayaan gender dalam beberapa tahun terakhir.
Qterjadi kekerasan dalam rumah tangga
Data Komnas Perempuan menunjukkan terdapat 6.480 laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di ranah personal pada tahun 2020. Kekerasan terhadap istri paling dominan dengan 3.221 laporan atau 49,7% dari keseluruhan kasus.
Berdasarkan wilayah, laporan BPS menunjukkan bahwa Jawa Barat merupakan wilayah yang melaporkan KDRT terbanyak pada tahun 2018. Jumlahnya mencapai 1.459 kasus. Kemudian Jawa Timur menyusul dengan 1.455 kasus.
Poligogami
Berdasarkan data statistik yang disusun BPS, poligami menduduki peringkat kedelapan sebagai penyebab perceraian di Indonesia pada tahun 2020. Persentasenya mencapai 0,3% dari total penyebab perceraian.
Poligami, kata Nahe’I, berpotensi merugikan perempuan. Berdasarkan kajian Komnas HAM, 70% praktik poligami di Indonesia bermasalah dan dilakukan secara diam-diam, tidak adil, dan merugikan keluarga, terutama istri. “Dengan demikian, poligami seperti ini berpotensi merusak pernikahan,” kata Nahe’i.
Nahe’i mengatakan, selama ini poligami dijadikan dalih bagi laki-laki karena dianggap berdasarkan ajaran Islam.
Dampak Perceraian pada Anak
Perceraian bisa menjadi traumatis bagi pasangan dan keluarga. Namun terkadang, perceraian bisa menjadi solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Apalagi jika sering terjadi konflik yang berpotensi menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. “Berbagai penyebab (perceraian) seperti akar serabut, sehingga ketidakharmonisan yang terus-menerus pasti dapat memicu perceraian,” kata Nahe’i.
Salah satu yang sering menjadi pertimbangan pasangan yang berencana bercerai adalah anak. Meski begitu, menurut Jovita, ada sisi positif dan negatif perceraian bagi psikologi anak.
Sisi positifnya, jelasnya, perceraian bisa membuat anak mandiri dan lebih bisa menerima kegagalan. Ini bisa memberinya pelajaran berharga. Namun, hal ini juga bergantung pada bagaimana cara orang tua merawat dan lingkungan sekitar yang mendukung sang anak.
“Anak itu harus tetap punya tempat untuk mengisi kekosongan. Ada tempat untuk ngobrol dan bersantai, tetap bisa menyalurkan hobi, dan semua kebutuhan tetap difasilitasi oleh orang-orang di sekitar,” ujar Jovita.
Sedangkan dari sisi negatifnya, perceraian dapat menimbulkan dua jenis luka psikologis pada anak. Luka yang terlihat dan tidak terlihat. Dari segi luka yang terlihat, perceraian dapat menyebabkan anak mengalami trauma, depresi, perasaan malu, tidak mau bersosialisasi, hingga nilai akademiknya turun.
Sementara itu, lanjut dia, luka yang tidak diperlihatkan umumnya berupa rasa sakit hati yang sudah lama dipendam sang anak.
Ia mencontohkan, anak-anak bisa terlihat normal dari segi sosial dan akademik. Namun, sebenarnya sang anak memiliki trauma yang tidak ingin ia tunjukkan kepada orang lain. “Akibatnya, dia akan membawa perasaan (trauma) itu dalam perjalanan hidupnya hingga dia takut menjalin hubungan intim dengan lawan jenis,” katanya.
Jovita menuturkan, pada dasarnya resiliensi setiap anak berbeda-beda, termasuk bagaimana perceraian yang dialami orang tua memengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu, menurutnya penting bagi kedua orang tua untuk memperhatikan pengasuhan anak secara menyeluruh meskipun sudah tidak tinggal serumah lagi.
“Orangtua tetap perlu menjalin komunikasi yang baik dan mengisi kekosongan yang dialami anak. Jadi, dengan proses pengajaran yang tepat untuk anak yang (orang tua) pernah mengalami perceraian juga bisa membuat resiliensi anak semakin kuat,” ujar Jovita.