Sejarawan Inggris Peter Carey memiliki pertanyaan besar. “Mengapa Indonesia, negara terpadat keempat di dunia, tidak pernah memenangkan Hadiah Nobel sejak kemerdekaannya?” tanya Carey, saat membuka Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 13 April 2023.
Hadiah Nobel diberikan kepada individu atau organisasi yang telah “memberikan manfaat terbesar bagi umat manusia”. Penghargaan ini terdiri dari lima kategori—fisika, kimia, kesehatan, perdamaian, dan sastra—yang telah diberikan sejak 1901. Kategori ekonomi baru diberikan mulai tahun 1969.
Sebanyak 615 hadiah Nobel telah diberikan kepada 959 individu dan 30 organisasi dalam enam kategori pada tahun 2022. Artinya, satu hadiah dapat diberikan kepada lebih dari satu orang atau tim pada tahun yang sama.
Beberapa individu dan organisasi telah menerima penghargaan tersebut lebih dari satu kali. Misalnya, Marie Curie (Hadiah Nobel Fisika 1903 dan Hadiah Nobel Kimia 1911) dan Komite Palang Merah Internasional (Hadiah Nobel Perdamaian 1917, 1944, 1963).
Tidak termasuk mereka yang menerima penghargaan tersebut lebih dari satu kali, sebanyak 954 individu dan 27 organisasi telah memenangkan Hadiah Nobel antara tahun 1901-2022.
Namun, Indonesia tidak pernah mencatatkan namanya dalam daftar peraih Nobel sejak menjadi negara merdeka dan berdaulat pada 1945. Carey kemudian membandingkan 10 negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dan jumlah penghargaan Nobel yang diterima masing-masing negara.
Akibatnya, Amerika Serikat menempati urutan teratas dengan 403 pemenang Nobel dalam 120 tahun terakhir. Kemudian disusul Rusia dengan 32 penerima, India dengan 12 penerima, China dengan sembilan penerima, Meksiko dengan tiga penerima, dan Pakistan dengan dua penerima.
Nigeria, Brasil, dan Bangladesh juga keluar dari “akuisisi” Indonesia, masing-masing dengan pemenang Hadiah Nobel.
Carey menilai ada dua tokoh Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi peraih Nobel. Pertama, pengarang Pramoedya Ananta Toer, untuk tetralogi Buru, dalam kategori sastra. Keempat novel tersebut mengkritik feodalisme dalam latar kolonial.
Namun, kesempatan itu habis. Ada yang menduga bahwa kualitas terjemahan novel-novel tersebut ke dalam bahasa Inggris buruk, sehingga menurunkan kualitas sastranya. Tak sedikit yang menduga karena sikap politik Pram sebagai aktivis sayap kiri, pemerintah Orde Baru bertindak untuk menanganinya.
Kedua, mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK), atas prakarsa Perjanjian Helsinki tahun 2005, dalam kategori perdamaian. Kesepakatan itu mengakhiri konflik panjang antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kesempatan itu juga tidak membuahkan hasil. Sama seperti Pram, JK mungkin tidak diperhatikan oleh Komite Nobel Norwegia, yang mengurus kategori perdamaian, karena dia bukan dari negara berbahasa Inggris.
Menurut Carey, kasus Pram dan JK terlihat kekuatan lembut (soft power) Indonesia masih lemah, sehingga tidak memiliki pengaruh dan posisi yang kuat di dunia. Karena itu, pekerjaan dan inisiatif penting dari dalam negeri tidak diperhitungkan oleh Komite Nobel.
Joseph Nye dalam buku itu Soft Power: Cara Sukses dalam Politik Dunia (2004) didefinisikan kekuatan lembut sebagai kemampuan satu pihak untuk mempengaruhi pihak lain tanpa paksaan. Dengan kata lain, kekuasaan diperoleh dengan cara persuasif.
Salah satunya, melalui bahasa. Forum Ekonomi Dunia (WEF) merilis Power Language Index (PLI) pada tahun 2016. Bahasa Inggris menduduki peringkat pertama sebagai bahasa yang paling kuat di dunia. Karena bahasa tersebut merupakan bahasa perantarabahasa pergaulan) masyarakat dunia.
Ini berarti bahasa Inggris dipahami dan digunakan oleh orang-orang di banyak negara. WEF menambahkan bahwa negara-negara yang bisa berbahasa Inggris umumnya memiliki pengaruh yang lebih besar. Misalnya, pembuatan kebijakan global selalu dilakukan dalam bahasa Inggris sebagai lingua franca dunia.
“Oleh karena itu, (pembuatan kebijakan global) dapat mengabaikan kekhawatiran negara-negara yang tidak berbicara atau berbicara bahasa Inggris dengan buruk,” tulis WEF.
Lantas, bagaimana dengan posisi dan kekuatan bahasa Indonesia?
Sejarawan Benedict Anderson dalam tulisannya “The Unrewarded” di jurnal tersebut Tinjauan Kiri Baru (2013) menyebutkan bahwa terjadi nasionalisasi bahasa di Asia Tenggara pada abad ke-20. Negara-negara di kawasan tidak lagi menggunakan bahasa kolonial dan menciptakan bahasa nasionalnya sendiri.
Indonesia juga melahirkan bahasa Indonesia. Padahal, menurut Anderson, bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa nasional yang dicapai tanpa penolakan dan menjadi bahasa perantara rakyat.
Namun, nasionalisasi bahasa meninggalkan Asia Tenggara tanpa “sekutu yang kuat di Eropa, di Belahan Barat, atau bahkan di dunia Islam”. Bahasa nasional di kawasan itu juga tidak memiliki “aura transnasional”.
Karena itu, dengan lemahnya posisi dan daya tawar bahasa Indonesia, Carey menyarankan agar masyarakat negara tersebut bilingual atau mampu menggunakan dua bahasa dengan baik. PertamaIndonesia. Keduabahasa yang digunakan secara global, seperti bahasa Inggris.
Berdasarkan English Language Proficiency Index (EPI) EF, Indonesia akan mendapat skor 469 pada tahun 2022. Skor ini hanya menempatkan Indonesia di peringkat 81 dari total 111 negara dalam indeks. Di Asia, Indonesia menempati peringkat ke-15 dari total 24 negara yang dievaluasi.
EF mengklasifikasikan kemampuan berbahasa Inggris di Indonesia ke dalam kategori lemah. Artinya, ini pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar Indonesia bisa mendunia.
Selain bahasa, kekuatan lembut dapat diperoleh dengan menjadikan suatu negara lebih dikenal oleh masyarakat dunia dari berbagai aspek. Misalnya, Korea Selatan (Korsel) memperkenalkan negaranya melalui produk-produk industri budaya, seperti K-pop dan K-drama. Upaya ini telah dirintis dan didukung oleh pemerintah Korea Selatan sendiri sejak tahun 1990-an.
Alih-alih membuat peta jalan (peta jalan) untuk mempromosikan budayanya seperti Korea Selatan, Indonesia malah menjadi target pasar produk industri budaya Korea Selatan sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika Carey mengatakan “tidak ada upaya untuk membuat Indonesia lebih dikenal di luar negeri”.
Salah satu upaya justru muncul dengan menggelar Piala Dunia U-20 pada Mei-Juni 2023. Namun, penolakan timnas Israel menghilangkan peluang emas tersebut.
Carey juga mencontohkan, belum ada perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam daftar 200 besar dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pengajaran dan penelitian di negeri ini masih rendah, sekaligus menghambat reputasi Indonesia di bidang akademik.
Berdasarkan daftar QS World University Rankings, universitas terbaik dunia masih akan didominasi Inggris dan Amerika Serikat pada 2023. Namun, Singapura berhasil mencatatkan National University of Singapore (NUS) di posisi ke-11 dan Nanyang Technological University ( NTU) di posisi ke-19.
Sementara itu, peringkat tertinggi perguruan tinggi asal Indonesia adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) ke-231. Kemudian, Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat 235 dan Universitas Indonesia (UI) di peringkat 248.
Lebih lanjut, pekerjaan diaspora dan pekerja migran dapat menempatkan Indonesia di kancah dunia. Sebut saja dua ilmuwan Indonesia Carina Joe dan Indra Rudiansyah yang terlibat dalam penelitian dan pembuatan vaksin AstraZeneca Covid-19 yang digagas Universitas Oxford.
Keterlibatan mereka juga memperkenalkan kapasitas dan potensi sumber daya manusia Indonesia di dunia akademik internasional. Pencapaian seperti ini sebenarnya dibutuhkan secara berkesinambungan untuk mendukung pertumbuhan kekuatan lembut yang.
Sebagai gambaran, data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan jumlah imigran asal Indonesia yang tinggal di luar negeri sebanyak 4,6 juta orang pada tahun 2020. Namun, data tersebut tidak merinci aktivitas atau pekerjaan para imigran tersebut.
Sayangnya, pemerintah Indonesia biasanya mewajibkan mereka untuk kembali ke tanah air dan berkontribusi untuk tanah airnya. Menurut kandidat PhD Antropologi Sosial UV Amsterdam Pamungkas Dewanto dalam tulisannya tentang Percakapan (2022), klaim ini mengasumsikan bahwa kontribusi seseorang ditentukan oleh tempat dia berada.
Bahkan, kemajuan teknologi saat ini telah menghilangkan hambatan berupa batas wilayah. Dengan begitu, kontribusi dan manfaat diaspora dimanapun berada tetap dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Memiliki kekuatan lembut belum tentu membuat Indonesia mendapatkan hadiah Nobel. Carey dan Anderson mengakui bahwa pemberian Hadiah Nobel seringkali bersifat politis. Tergantung situasi politik, tergantung situasi zaman.
Tak hanya itu, kata Carey, masih banyak hal di dunia akademik di Indonesia yang perlu diperbaiki untuk meraih Nobel. Misalnya, gaji dosen yang rendah, tidak adanya budaya peer review (tinjauan sejawat) yang memenuhi syarat, dan tidak ada cuti panjang (cuti panjang) untuk penelitian independen.
Ketiganya berkontribusi pada tidak berkembangnya budaya ilmiah di dunia akademik tanah air.
Namun dengan memiliki kekuatan lembut, Indonesia akan dihormati dan diperhitungkan, bahkan mungkin didukung oleh negara lain. Profil Indonesia di kancah global ke depan bisa berubah menjadi tidak hanya nol besarseperti yang ditemukan di layar presentasi Peter Carey.