Kebahagiaan adalah keadaan pikiran, sehingga tidak dapat diukur dengan menggunakan kategori umum. Setiap individu, negara atau daerah memiliki tingkat kebahagiaannya masing-masing. Ini mungkin menjelaskan mengapa orang Maluku Utara disebut paling bahagia di Indonesia.
Dalam indeks yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Maluku Utara memiliki indeks kebahagiaan tertinggi dengan skor 76,34 poin. Meskipun dari sudut pandang ekonomi, kawasan ini memiliki salah satu tingkat PDB terendah di negara ini.
“Kebahagiaan tidak lepas dari unsur non ekonomi seperti agama, lingkungan, kedekatan dengan keluarga,” kata Hatib Abdul Kadir, Antropolog Universitas Brawijaya, kepada Katadata.co.id, Senin, 17 Januari 2022.
Kata Hatib lagi, kebahagiaan bersifat sementara, sehingga indikator kuantitatif kebahagiaan yang dilakukan BPS tidak akurat untuk mengukur kondisi mood.
Hatib yang banyak melakukan penelitian terhadap masyarakat Maluku mengatakan, setidaknya ada enam faktor yang membuat masyarakat Maluku Utara dinilai paling bahagia di Indonesia. Pertama, keadaan emosional (emotional well-being) dan kesejahteraan sosial. Dia mencontohkan, seseorang senang jika terbebas dari ancaman kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba.
Ancaman pemutusan hubungan kerja sepihak, menurut Hatib, sangat kecil di Maluku Utara karena umumnya pekerja dan pemilik sektor industri rumah tangga di wilayah itu memiliki ikatan keluarga.
Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat pengangguran di sana. Maluku Utara merupakan salah satu daerah dengan tingkat pengangguran terendah hanya 4,71% pada Agustus 2021. Angka tersebut di bawah rata-rata nasional sebesar 6,49%. Angka tersebut menempatkan Maluku Utara di urutan ke-14 dengan tingkat pengangguran terbuka TPT terendah di Indonesia.
Meski Upah Minimum Provinsi (UMP) bukan yang tertinggi, namun masih lebih tinggi dari Banten yang memiliki PDRB ketujuh terbesar secara nasional. UMP Maluku Utara sebesar Rp 2.862.231 pada tahun 2022, sedangkan Banten hanya sebesar Rp 2.501.203 dan jauh lebih tinggi dari Yogyakarta yaitu sebesar Rp 1.840.915.
Persentase penduduk miskin di Maluku Utara tercatat sebesar 6,38% per September 2021. Angka tersebut menempatkan Maluku Utara di urutan ke-9 dengan persentase penduduk miskin terendah di Tanah Air.
Faktor kedua adalah kurangnya pengekangan. Hatib menuturkan budaya masyarakat Maluku Utara cenderung egaliter, terbuka, dan tidak terikat aturan yang kaku. “Ini memungkinkan mereka untuk berekspresi secara langsung tanpa harus menyembunyikannya,” kata Hatib.
Di sisi lain misalnya dengan budaya Mataraman yang memiliki banyak pantangan dan aturan. Menunjuk dengan jari telunjuk dianggap tidak sopan. Di Maluku Utara ekspresi tidak suka diungkapkan secara langsung dan tidak menggunakan simbol atau ekspresi menyindir.
Ketiga, lebih dekat dengan alam (closer to nature). Maluku Utara tercatat memiliki 1.474 pulau. Angka tersebut menempatkan wilayah ini pada urutan ketiga dengan jumlah pulau terbanyak di Indonesia, setelah Kepulauan Riau dan Papua.
Hatib menuturkan, bentang alam pulau-pulau di Maluku Utara membuat jarak antara pantai dan pegunungan tidak terlalu jauh. Hal ini sekaligus memungkinkan masyarakat desa setempat memiliki dua model mata pencaharian yaitu di kebun dan di laut sekaligus.
Keempat, tetap dekat dengan keluarga. Bagi masyarakat Maluku Utara, jelas Hatib, keluarga dan suku merupakan ikatan yang paling kuat. Ikatan dalam marga atau antar komunitas berfungsi sebagai jembatan untuk memperluas jaringan sosial dan ekonomi.
“Bahkan dari sisi buruknya, ikatan ini cenderung mengarah pada nepotisme di lingkungan dinas pendidikan dan birokrasi,” kata Hatib. Dia mencontohkan, banyak PNS yang ingin berubah agar ditempatkan lebih dekat dengan keluarga agar tidak merasa kesepian.
Kelima, sering ke tempat ibadah (sering ke gereja/masjid). Menurut data BPS, ada 2.364 tempat ibadah di Maluku Utara pada 2019. Rinciannya, ada 1.078 masjid, 609 surau, 590 gereja Protestan, 85 gereja Katolik, serta masing-masing 1 candi dan klenteng.
Meski jumlah tempat ibadah di Maluku Utara tidak sebanyak di daerah lain, namun intensitas warga setempat ke tempat ibadah cukup tinggi. Hal itu, menurut Hatib, menjadi alasan mengapa masyarakat di wilayah ini merasa senang.
Selain beribadah, lanjut Hatib, tempat ibadah juga menjadi tempat untuk menghibur dan berbagi informasi dengan sesama umat.“Dengan agama, seseorang tidak hanya memiliki makna dan tujuan hidup, tetapi juga kegembiraan,” kata Hatib.
Keenam, faktor sosial lain (berbagai faktor sosial) yang tidak berkaitan langsung dengan faktor ekonomi. Dia mencontohkan, masyarakat Maluku lebih bahagia karena tidak bercerai.
Data BPS menunjukkan bahwa angka perceraian dan perceraian di Maluku Utara tergolong rendah yakni 948 pasangan pada tahun 2016. Angka tersebut menempatkan provinsi ini pada urutan ke-8 terendah di antara provinsi lainnya.
Selain itu, menurut Hatib, kebahagiaan juga didapat jika seseorang memiliki teman yang kaya, karena jika ia sendiri menjadi kaya akan menjadi beban baginya.
Selain itu, masyarakat di desa juga lebih bahagia ketika mereka bergotong royong membangun rumah. “Isi percakapan saat masohi (gotong-royong) jauh lebih nikmat ketimbang isi percakapan pedagang di pasar yang penuh persaingan,” ujar Hatib.