liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Mengapa Tinggi Badan Orang Korea Selatan Tumbuh Pesat dan Lampaui Indonesia?

Mengapa Tinggi Badan Orang Korea Selatan Tumbuh Pesat dan Lampaui Indonesia?

4 minutes, 33 seconds Read

Tinggi badan manusia sering dikaitkan dengan faktor genetik. Orang Eropa yang lebih tinggi dari orang Asia diterima sebagai hal yang wajar, karena ras mayoritas penduduk di kedua benua itu berbeda.

Berdasarkan data World Population Survey, rata-rata tinggi badan anak laki-laki dan perempuan Belanda berusia 18 tahun mencapai 183,8 cm dan 170,4 cm pada tahun 2019. Hal ini menempatkan Belanda sebagai yang tertinggi di dunia.

Sementara pria dan wanita Indonesia rata-rata memiliki tinggi badan 166,3 cm dan 154,4 cm pada usia yang sama. Artinya, orang Indonesia lebih pendek sekitar 16-17 cm dari orang Belanda.

Namun, tinggi badan tampaknya lebih dari sekadar faktor genetik. Penduduk di negara-negara Asia Tenggara yang umumnya serumpun memiliki ketinggian yang bervariasi. Di Singapura, misalnya, tinggi badan anak laki-laki dan perempuan berusia 18 tahun masing-masing 173,5 cm dan 161,3 cm, lebih tinggi dari Indonesia.

Rata-rata tinggi badan pria di Tanah Air menempati urutan ketujuh di kawasan, sedangkan tinggi badan wanita menempati urutan kedelapan pada tahun 2019. Secara umum, orang Indonesia hanya lebih tinggi dari Filipina, Laos, dan Timor Leste.

Namun, faktor genetik tidak hanya menentukan tinggi badan seseorang. Menurut ahli biologi molekuler Universitas Tufts Chao-Qiang Lai, faktor genetik hanya menyumbang 60-80% dari tinggi badan manusia, seperti dikutip dari Amerika Ilmiah.

Sisanya 20-40% disumbangkan oleh pengaruh luar atau lingkungan, terutama jumlah nutrisi yang diterima oleh masing-masing individu.

Efek nutrisi pada tinggi badan manusia terbukti di Korea Selatan. Data dari Non-Communicable Disease Risk Factor Collaboration (NCD-RisC) menunjukkan bahwa wanita Korea Selatan yang lahir pada tahun 1996 lebih tinggi hampir 20 cm dibandingkan mereka yang lahir pada tahun 1896 ketika mereka berusia 18 tahun.

Ketinggian pria Korea Selatan juga meningkat secara signifikan hingga 15 cm dalam satu abad terakhir. Sementara itu, pertambahan tinggi badan pria dan wanita Indonesia tercatat lebih lambat, hanya sekitar 10 cm.

Katadata membandingkan rata-rata tinggi badan orang Indonesia dan Korea Selatan yang lahir pada tahun 1896-1996. Akibatnya, laki-laki Korea Selatan lebih tinggi dari laki-laki Indonesia sejak awal, tetapi perbedaannya melebar pada tahun 1960-an.

Sementara itu, wanita Indonesia awalnya lebih tinggi dari wanita Korea Selatan. Namun, posisinya terbalik pada tahun 1911. Tinggi badan wanita Korea Selatan terus melonjak, bahkan mereka yang lahir pada tahun 1996 mencapai 162,3 cm di usia 18 tahun.

Sebagaimana dilaporkan suara, Korea Selatan mulai memperbaiki perekonomiannya pada tahun 1960-an. Salah satu caranya adalah mengubah fokus produksi industri, dari tekstil menjadi elektronik dan mobil. Hal ini kemudian mempengaruhi produk domestik bruto (PDB) Korea Selatan per kapita.

Berdasarkan data Bank Dunia, PDB per kapita Korea Selatan pada awalnya sebanding dengan Indonesia. Namun, setelah pemulihan ekonomi di Korea Selatan, nilai keduanya bergerak ke arah yang berbeda. PDB per kapita Korea Selatan meroket, sementara pertumbuhan Indonesia tidak secepat Korea.

Dengan perekonomian yang membaik, Korea Selatan mampu memenuhi kebutuhan pangan dan gizi penduduknya secara lebih seimbang. Data dari Korea Statistical Information Service (KOSIS) menunjukkan rata-rata konsumsi makanan masyarakat Korea Selatan saat ini lebih dari 50 tahun lalu.

Angkanya akan menjadi 1.463 gram per kapita per hari pada 2021, sebelumnya 1.056 gram per kapita per hari pada 1969. Selain lebih banyak, asupan makanan warga Korea Selatan lebih beragam.

Konsumsi yang dulu terfokus pada olahan biji-bijian dan umbi-umbian kini beralih ke makanan hewani, seperti daging, susu, dan telur. Orang Korea Selatan juga makan lebih banyak jamur, ikan dan kerang, serta buah-buahan.

Sementara Indonesia tertinggal dari Korea Selatan. Secara nasional, rata-rata konsumsi pangan berada pada kisaran 870-880 gram per kapita per hari selama 50 tahun terakhir—tidak ada peningkatan yang berarti. Jumlah tersebut didominasi oleh olahan biji-bijian dan umbi-umbian.

Lalu, konsumsi pangan hewani secara keseluruhan tercatat meningkat lima kali lipat, namun jumlah itu masih kalah dibandingkan konsumsi daging di Korea Selatan saja, tanpa ditambah susu dan telur. Begitu pula dengan konsumsi sayur dan buah.

Melihat komposisi tersebut, tidak mengherankan jika asupan protein Korea Selatan lebih baik dibandingkan Indonesia. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), konsumsi protein Korea Selatan mendekati Belanda pada tahun 2013 yaitu 96,2 gram per kapita per hari dibandingkan 111,7 gram per kapita per hari.

Asupan protein penduduk Indonesia tercatat sebesar 62,2 gram per kapita per hari pada tahun 2013. Jumlah tersebut belum tentu dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasalnya, kebutuhan protein setiap orang sama dengan 0,8 gram per kilogram berat badan, seperti dikutip dari Publikasi Kesehatan Harvard.

Namun, itu adalah jumlah minimum yang dibutuhkan agar tidak sakit, bukan jumlah tertentu yang harus dikonsumsi setiap hari. Artinya, konsumsi protein di atas jumlah minimum dapat memberikan efek yang lebih baik.

Sebaliknya, kurangnya asupan protein dapat terjadi kerdil. Kementerian Kesehatan mencatat prevalensinya kerdil di Indonesia sebesar 21,6% pada tahun 2022, turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 24,4%. Sementara itu, prevalensi kerdil di Korea Selatan telah mencapai 2,5% pada tahun 2009.

Sementara itu, komposisi konsumsi pangan juga perlu dilihat menurut umur untuk mengetahui jumlah dan kecukupan gizi yang diterima setiap kelompok, terutama anak kecil. Namun, Korea Selatan dan Indonesia belum menyajikan data tersebut.

Menurut seorang profesor dari Imperial College London Majid Ezzati, tinggi badan merupakan cerminan keadaan suatu masyarakat, seperti dikutip dari Para Penjaga.

Pernyataan ini sepertinya sejalan dengan data Korea Selatan dan Indonesia di atas. Ini karena orang yang lebih tinggi memiliki asupan nutrisi dan kondisi hidup yang lebih baik daripada orang yang lebih pendek.

Namun, bukan berarti orang tinggi lebih baik daripada orang pendek. Yang terpenting adalah memenuhi asupan nutrisi dan pola makan yang seimbang, setelah itu akan berpengaruh pada tinggi badan. Pemenuhan nutrisi ini tidak hanya berlaku untuk anak kecil, tetapi juga untuk pria dan wanita sebelum hamil.

“Tinggi badan juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan orang tua dan kakek nenek kita, selain lingkungan kita sendiri,” kata Ezzati.

Meskipun demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan potensi tubuh tinggi memiliki risiko penyakit yang lebih rendah. Misalnya penyakit jantung, hipertensi, dan kolesterol tinggi. Hal ini mungkin karena asupan gizi seimbang sejak kecil.

Similar Posts