liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Nasib Jalur Khusus Sepeda yang Sepi di Jakarta

Nasib Jalur Khusus Sepeda yang Sepi di Jakarta

5 minutes, 38 seconds Read

Transit Oriented Development City (TOD) merupakan impian mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan selama lima tahun kepemimpinannya. Untuk itu, pemerintah provinsi giat membangun dan membenahi sarana dan prasarana transportasi umum untuk mewujudkannya.

Pengembangan juga mencakup jalur sepeda. Total panjang Anies ditargetkan mencapai 535,68 km pada 2026. Sedangkan menurut catatan Dinas Perhubungan DKI, jalur sepeda sepanjang 309,5 km akan tersedia di Jakarta pada akhir 2022.

Sedangkan jalur sepeda terdiri dari jalur terlindung (terbatas poros kerucut), trek membagikan (dibagi dengan pengguna jalan lain, dibatasi oleh rambu-rambu jalan), dan jalur trotoar.

Panjang jalur sepeda yang dibangun di Jakarta sebenarnya sudah sesuai dan mampu memenuhi target Anies dalam empat tahun ke depan. Namun, pemprov telah membongkar jalur sepeda dan trotoar di perempatan Pasar Santa, Jakarta Selatan pada pertengahan April 2023.

Jalur sepeda dan trotoar juga telah diaspal ulang sebagai jalan untuk kendaraan bermotor. Tujuannya untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di salah satu bagian Jakarta.

Anggaran pembangunan jalur sepeda juga sudah dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi 2023. Pemprov hanya menaksir Rp 7,5 miliar untuk jalur sepeda. yang ada sepanjang tahun ini.

Sebelumnya, Pemprov mengalokasikan Rp 38 miliar untuk membangun jalur sepeda baru dan Rp 1,9 miliar untuk evaluasi lajur eksisting dalam APBD 2023. Angka ini kemudian dicoret dan diganti.

Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak mengatakan, jalur sepeda di Jakarta tidak dimanfaatkan masyarakat dan tidak digunakan sesuai fungsinya.

“(Jalur sepeda di Jakarta) menempati sepeda motor yang sama jalak (tukang kopi portabel). Sekarang Anda (Pemprov) mau perpanjang, mereka tidak jawab, jadi hapus saja,” kata Gilbert pada 16 November 2022, dikutip dari CNN Indonesia.

Berdasarkan data Global Bicycle City Index yang dirilis oleh perusahaan asuransi Luko, hanya 2% penduduk Jakarta yang akan menggunakan sepeda untuk kehidupan sehari-hari pada tahun 2022. Persentase ini lebih tinggi dari beberapa kota di Asia Tenggara, namun masih kalah dari kota-kota di China.

Penggunaan sepeda masih mengikuti trend yang berkembang pada waktu-waktu tertentu, belum menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat Jakarta. Misalnya, pencarian kata kunci “sepeda” di Google untuk wilayah DKI Jakarta mencapai angka tertinggi hanya pada awal wabah Covid-19.

Sejalan dengan itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Sepeda dan Mainan Indonesia (APSMI) Eko Wibowo mengatakan penjualan sepeda akan turun 80% pada akhir 2022 dibandingkan awal wabah, seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

Menurut dia, penurunan tersebut karena tren sepeda di Jakarta yang menurun sehingga tidak ada pembeli baru. Padahal, pengguna yang sudah membeli sepeda biasanya akan membeli sepeda lagi dalam 2-3 tahun ke depan.

Carlton Reid, dalam bukunya Bike Boom: Bangkitnya Bersepeda yang Tak Terduga (2017), mengungkapkan beberapa alasan mengapa penduduk kota tidak menggunakan sepeda untuk aktivitas sehari-hari. Pertamatidak ada infrastruktur yang layak untuk pengendara sepeda.

Infrastruktur meliputi jalur sepeda yang dipisahkan dari kendaraan bermotor dan jalur membagikan yang mengutamakan pesepeda. Kemudian, area parkir khusus sepeda dan rambu lalu lintas tersendiri yang waktunya disesuaikan dengan kecepatan sepeda.

Sebagian besar infrastruktur ini belum ada—atau, memang ada, tapi tetap mengutamakan pesepeda—di Jakarta. Luko juga hanya memberikan skor 24,3 pada infrastruktur sepeda di kota ini yang paling rendah dibandingkan kota-kota Asia lainnya.

Kedua, merasa takut dan tidak aman bersepeda di jalan yang didominasi oleh kendaraan bermotor. Hal ini karena dapat menyebabkan kecelakaan bahkan kematian. Meski begitu, skor keamanan penggunaan sepeda di Jakarta sebenarnya sudah bagus yakni 90,24 pada tahun 2022.

Jumlah kecelakaan yang mengakibatkan cedera ringan pada pesepeda tercatat sekitar empat dari seribu pesepeda. Sedangkan kecelakaan yang mengakibatkan kematian sekitar satu dari 100 ribu pesepeda. Angka ini relatif rendah di Asia.

Ketiga, jarak antara rumah dan tempat beraktivitas—seperti kantor, pusat perbelanjaan, dan sekolah—jauh. Bahkan, kata Reid, kedekatan bisa menjadi salah satu daya tarik orang untuk bersepeda setiap hari.

Hal senada juga diungkapkan Ahmad Arif dalam buku tersebut Jelajahi Sepeda Kompas: Melihat Indonesia dari Sepeda (2010). Menurutnya, mayoritas orang Eropa umumnya hanya bersepeda sejauh 2,5 km untuk mencapai tujuan.

“Bandingkan dengan pesepeda di Indonesia yang bisa menempuh jarak hingga 20 km sekali jalan ke tempat kerja. Jarak ini sebenarnya dianggap tidak rasional,” tulis Arif.

Namun, menurut Reid, jika ketiga alasan tersebut dibenahi untuk meningkatkan fasilitas bagi pesepeda, belum tentu masyarakat akan beralih menggunakan sepeda untuk aktivitas sehari-hari.

Hal ini karena kebiasaan mengendarai sepeda juga dipengaruhi oleh alasan sosio-psikologis yang sulit diubah. Bersepeda dianggap tidak ramah cuaca, sehingga pengguna berkeringat atau kehujanan. Oleh karena itu, bersepeda diasosiasikan sebagai olahraga atau rekreasi, bukan sebagai alat transportasi sehari-hari.

Apalagi jika kota tersebut memiliki sarana transportasi alternatif yang lebih menarik dari pada sepeda. Menurut Reid, salah satunya kendaraan bermotor yang biasanya gencar dipasarkan dengan harga terjangkau. Alhasil, masyarakat lebih tergiur untuk memiliki dan mengendarai sepeda motor atau mobil, seperti yang terjadi di Jakarta.

Indeks Kota Sepeda Global menempatkan Utrecht sebagai kota paling ramah pengendara sepeda di dunia pada tahun 2022. Populasi yang menggunakan sepeda untuk aktivitas sehari-hari di kota ini juga mencapai 51%, tertinggi di antara negara lain.

Amsterdam menyusul di urutan ketiga sebagai kota dengan persentase pesepeda tertinggi sebesar 32%. Dengan dua kota di puncak indeks, tak heran jika jumlah sepeda di Belanda diklaim lebih banyak dari populasinya yang mencapai 23 juta unit dibandingkan 17,5 juta orang.

Data ini semakin memperkuat predikat Belanda sebagai negara bersepeda. Artinya, sepeda sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, bukan sekadar iseng-iseng atau rekreasi.

Meluncurkan Para Penjaga, Belanda memiliki tradisi bersepeda sejak dulu, termasuk di kalangan elite. Pemerintah kemudian mengakomodir tradisi ini dengan membangun infrastruktur yang memadai bagi para pesepeda.

Salah satunya adalah jalur terpisah untuk kendaraan bermotor dan hanya bisa dilalui sepeda. Jarak antar tempat yang dekat juga mendorong warga untuk bersepeda.

Selain itu, menurut Reid, banyak orang Belanda yang tidak suka pamer kekayaan, sehingga bersepeda sesuai dengan prinsip mereka. “Bersepeda itu egaliter, bukan peningkatan status,” tulis Reid.

Meski begitu, perjalanan pengendara sepeda tak selalu mulus di negeri jingga tersebut. Setelah Perang Dunia II, bantuan dari Amerika Serikat mendorong orang untuk membeli mobil dan mengendarainya setiap hari.

Mobil mulai berkeliaran di jalan-jalan kota Belanda, lebih banyak dari era sebelumnya, meski pengendara sepeda masih ramai memenuhi jalanan. Namun penggunaan mobil mengakibatkan banyak kecelakaan yang mayoritas terjadi pada anak-anak.

Protes dan demonstrasi juga muncul dari beberapa kelompok masyarakat untuk melarang mobil di jalan-jalan kota. Selain itu, Belanda juga mengalami krisis minyak akibat embargo Arab Saudi pada tahun 1973, sehingga pasokan bahan bakar mobil berkurang.

Karena itu, pemerintah membatasi penggunaan mobil setiap hari Minggu—atau, Hari tanpa kendaraan bermotor. Pemerintah juga membangun kembali infrastruktur dan membuat kebijakan yang mengutamakan pesepeda. Alhasil, Belanda mampu mempertahankan gelar juara nasional balap sepeda hingga saat ini.

Reid percaya bahwa meniru apa yang telah dilakukan Belanda untuk membangun dan memperbaiki ekosistem bersepeda di sana akan sulit dilakukan. Namun, itu tidak berarti itu tidak dapat dicoba dan dimulai.

Eksperimen tersebut juga dilakukan Jakarta, salah satunya melalui pembangunan jalur sepeda. Langkah ini memang perlu dipertahankan, namun yang tidak kalah penting adalah mengubah pola pikir masyarakat tentang bersepeda. Misalnya melalui evaluasi, sosialisasi, dan apresiasi terhadap pengguna sepeda.

Dengan begitu, jalur dan pengendara sepeda akan mendapat manfaat. Pesepeda memiliki jalur sendiri, bahkan jalur sepeda pun tidak berakhir dengan jalur kosong tanpa pemilik di Jakarta.

Similar Posts