Indonesia memiliki tiga spesies orangutan, yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencantumkan ketiga spesies endemik ini sebagai “sangat terancam punah” atau critical endangered (CR).
Status ini karena keberadaannya memiliki resiko tinggi untuk menjadi benar-benar punah di alam liar. Risiko ini juga muncul sebagai akibat dari perilaku manusia. Jika dilihat dari populasinya, tiga spesies Pongo ini bersama-sama berjumlah kurang dari 100 ribu orang.
Berdasarkan laporan “Orangutan Population and Habitat Viability Assessment”, populasi orangutan Sumatera tercatat sebanyak 13,7 ribu individu dan orangutan Tapanuli 760 individu pada tahun 2016.
Orangutan kalimantan memiliki populasi terbesar yaitu 57,4 ribu individu pada tahun yang sama. detail, Pongo pygmaeus morio 14,6 ribu orang, Pongo pygmaeus pygmaeus sebanyak 4,5 ribu orang, dan Pongo pygmaeus wurmbii 38,2 ribu orang.
Sedangkan subspesies orangutan kalimantan terbagi berdasarkan variasi genetik. Setiap subspesies umumnya memiliki ruang hidup yang berbeda.
Selain jumlahnya yang kecil, laporan tersebut juga menyebut populasi orangutan terus mengalami tren penurunan. Padahal, berpotensi tidak bertahan hingga ratusan tahun ke depan, jika tidak ada intervensi dan perlindungan bagi orangutan dari ancaman di sekitarnya.
Pembangunan kawasan ibu kota negara (IKN) Nusantara bisa mengancam keberadaan orangutan Kalimantan. Orangutan kalimantan, tepatnya Pongo pygmaeus morio, masuk dalam daftar satwa di kawasan IKN baru. Beberapa individu spesies ini hidup di daerah Sungai Wain dan Beratus yang berbatasan langsung dengan IKN.
Selain orangutan, beberapa satwa yang masuk daftar merah IUCN juga hidup di kawasan IKN. Tiga dari spesies ini “sangat terancam punah”—sama seperti orangutan—trenggiling, bekantan, dan rangkong gading.
Pemerintah mengaku telah mempertimbangkan fakta tersebut, sehingga melahirkan konsep tersebut kota hutan dalam pengembangan IKN. Mutaqin dkk. (2021) dalam “Analisis Konsep Kota Hutan dalam Rencana Pembangunan Ibukota Negara” di Kertas Kerja Bappenas merinci enam prinsip kota hutan di IKN.
Beberapa prinsip ini terkait langsung dengan konservasi hewan. Misalnya, “meminimalkan kerusakan ekosistem alam” untuk menjamin kelestarian hutan sebagai habitat satwa.
Kemudian, mengontrol perkembangan kota. Salah satunya, dengan membuat sabuk hijau di sekitar kota untuk membatasi perluasan, terutama menuju hotspot keanekaragaman hayati.
Meski terdengar mulia, konsep perencanaan dan pembangunan IKN tidak boleh dianggap remeh. Masalahnya, sebelum IKN dibangun, pemerintah telah abai terhadap perlindungan orangutan.
Hutan terus ditebang terutama untuk tujuan bisnis dan investasi untuk dijadikan habitat Pongo semakin parah dan akhirnya hilang. Pemerintah juga tidak komit dan tegas dalam melakukan konservasi orangutan dan menindak pelaku kejahatan terhadap satwa tersebut.
Tak hanya itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno pernah mengatakan bahwa pihaknya telah merencanakan beberapa langkah antisipatif untuk mencegah masuknya orangutan ke kawasan IKN, seperti dikutip dari CNN Indonesia pada Februari 2022.
Salah satunya dengan membangun koridor satwa di sekitar kawasan IKN. Menurut Bappenas, koridor tersebut berupa “kawasan atau jalur vegetasi yang cukup luas” yang memungkinkan satwa bergerak, bermigrasi dan menetap di habitatnya.
Namun, cara pandang yang melihat orangutan menginvasi wilayah manusia—bukan sebaliknya—berpotensi mengulang pola yang sama. Kepentingan manusia diutamakan, sedangkan perlindungan orangutan masih nomor dua, bahkan nomor satu. Akhirnya orangutan dan hewan endemik lainnya terusir dari habitatnya.
World Wide Fund for Nature (WWF) menyatakan bahwa ada tiga spesies orangutan di Indonesia. Mereka adalah orangutan sumatera (Pongo abelii), orang utan kalimantan (Pongo pygmaeus), dan orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Sekilas, ketiganya terlihat mirip. Orangutan termasuk dalam keluarga kera besar, dengan bulu berwarna coklat kemerahan dan panjang tubuh sekitar satu hingga 1,5 meter. Namun, ketiga spesies ini sebenarnya memiliki ciri fisik tersendiri, terutama pada bagian wajah.
Misalnya, bantalan pipi orangutan sumatera jantan dewasa jatuh, yang membuat wajahnya berbentuk oval. Sedangkan bantalan pipi orangutan kalimantan melebar, sehingga wajahnya tampak bulat.
Berbeda dengan orangutan Tapanuli. Bantalan pipinya rata, tetapi spesies ini memiliki kumis dan janggut yang menonjol.
Mayoritas orangutan hidup di luar kawasan konservasi pada 2016. Data Forum Orangutan Indonesia (FORINA) bahkan menunjukkan persentase mencapai 63,5% orangutan sumatera dan 88,1% orangutan kalimantan. Mereka tersebar di hutan lindung, hutan produksi dan kawasan lainnya.
Berdasarkan laporan “Global Forest Resources Assessment 2020” yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), luas hutan lindung di negeri ini justru bertambah. Angka itu, yakni 29,9 juta hektare (ha) pada 1990, naik hampir dua kali lipat menjadi 51,8 juta hektare pada 2020.
Meskipun demikian, luas tutupan hutan secara umum mengalami penurunan. Luasnya mencapai 118,5 juta ha pada tahun 1990, kemudian menurun menjadi kurang dari 100 juta ha pada tahun 2010. Terakhir, luas tutupan hutan di Indonesia hanya 92,1 juta ha pada tahun 2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat penurunan tutupan hutan di pulau-pulau domestik. Misalnya, luas tutupan hutan yang hilang di Kalimantan adalah 654,7 ribu ha selama 2017-2021. Angka tersebut merupakan penurunan tutupan hutan terbesar di antara wilayah lainnya.
Penurunan serupa juga terjadi di hutan Sumatera seluas 310,4 ribu ha dalam kurun waktu yang sama. Sebenarnya kedua pulau ini merupakan daerah yang mayoritas orangutannya tinggal di Indonesia.
Beberapa hal telah menyebabkan hilangnya hutan sebagai habitat orangutan. Pertama, deforestasi dilakukan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp. Deforestasi juga bertujuan untuk memfasilitasi pembangunan jalan, gedung dan infrastruktur lainnya untuk kebutuhan manusia.
Kedua, kebakaran hutan yang berawal dari penggunaan api untuk membuka hutan tanaman industri dan mengeringkan hutan rawa gambut. Kebakaran juga dapat dipicu oleh kekeringan akibat musim kemarau dan El Nino.
Selain merusak habitatnya, kebakaran tersebut dapat membunuh orangutan secara langsung. Tubuh mereka terbakar, tenggelam, atau dehidrasi dan kelaparan.
Orangutan juga menghadapi ancaman kejahatan manusia. Hasil penelitian Sherman et al. (2022) dalam artikel “Pembunuhan dan Perdagangan Orangutan di Indonesia” di jurnal tersebut Konservasi Hayati menunjukkan bahwa ada 2.229 kejahatan terhadap orangutan selama 2007-2019.
Sekitar 40% di antaranya adalah kasus pembunuhan orangutan. Salah satunya, membunuh orangutan betina untuk diambil bayinya. Kemudian, “bayi dibawa ke desa setempat untuk dipelihara atau dijual di sepanjang rantai perdagangan,” kata Badan Investigasi Lingkungan (EIA).
Sedangkan 60% kasus lainnya dikategorikan sebagai kejahatan yang tidak mengakibatkan kematian. Misalnya, penangkapan karena konflik dengan manusia, perdagangan ilegal dan kepemilikan anak orangutan, serta percobaan perburuan liar.
Meski tidak menyebabkan kematian, kejahatan tersebut tetap menimbulkan luka dan trauma pada orangutan yang pada gilirannya dapat memperpendek umurnya.
Hilangnya habitat dan kejahatan manusia terbukti mengancam kelangsungan hidup orangutan. Alih-alih menyeimbangkan dengan upaya konservasi, dengan ketertiban Pongo dapat tetap lestari di Indonesia, upaya ini belum dilaksanakan secara optimal.
Misalnya, pemerintah belum merilis Rencana dan Strategi Aksi Konservasi Orang Utan (SRAK) selama 10 tahun. Padahal, SRAK bertujuan untuk memberikan informasi dan menyamakan persepsi tentang strategi perlindungan orangutan di tingkat regional dan regional.
“Rencana nasional ini juga bertujuan untuk memperoleh bantuan keuangan dan kelembagaan yang diperlukan untuk pelaksanaannya yang efektif,” kata EIA.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebelumnya telah menerbitkan SRAK Orang Utan 2019-2029. SRAK ini kemudian dibatalkan dengan alasan akan menambah strategi perlindungan baru. Namun, hingga kini kementerian belum mengeluarkan revisi baru atau SRAK.