Pemerintah berencana menerbitkan undang-undang (UU) untuk menyapu jagat raya alias omnibus law di bidang kesehatan. Ada 15 undang-undang yang akan direvisi melalui undang-undang ini, seperti UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan, dan UU Keperawatan.
Salah satu tujuan peninjauan adalah untuk memudahkan pendaftaran dan perizinan dokter. Namun, beberapa organisasi profesi medis menolak peninjauan tersebut. Mereka menilai fasilitas ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, revisi UU Kesehatan tidak membuat kewenangan sepenuhnya berada di bawah Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dia mengatakan organisasi profesi akan tetap terlibat. Pada dasarnya, kata Budi, RUU Kesehatan berorientasi pada peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.
Mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini menyoroti masalah kekurangan dokter, terutama dokter spesialis. Masalah ini akan diselesaikan dengan terbitnya UU Kesehatan yang baru. Kekurangan dokter ini membuat akses kesehatan bagi masyarakat sangat terbatas.
Budi mencontohkan kasus kematian jantung pada seorang anak. Ia menyebutkan, 50 ribu anak lahir dengan kelainan jantung bawaan dan 20 ribu kasus memerlukan tindakan operasi. Kekurangan dokter dan fasilitas kesehatan di Indonesia membuat operasi hanya bisa dilakukan untuk 6.000 anak.
“Setiap tahun ada 14 ribu bayi meninggal karena kekurangan dokter spesialis,” kata Budi dalam Forum Komunikasi IDI, Minggu, 27 November 2011.
Jumlah Dokter Belum Ideal
Selama ini rasio dokter di Indonesia masih di bawah standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kekurangan dokter ini menarik perhatian dokter spesialis.
Mengutip data Bank Dunia, Indonesia memiliki rasio 0,4 dokter per 1.000 penduduk. WHO menetapkan bahwa setiap negara harus memiliki rasio 1 per 1.000 penduduk. Rasio dokter di Indonesia juga terburuk kedua di Asia Tenggara.
Sedangkan ketersediaan dokter spesialis lebih sedikit. Total ada 54.190 dokter spesialis di Indonesia, menurut data Kementerian Kesehatan. Artinya, hanya ada 0,2 dokter spesialis per 1.000 penduduk, atau 200 dokter per 1 juta penduduk.
Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menemukan bahwa hanya 74,9% rumah sakit kabupaten/kota yang memiliki empat dokter spesialis dasar dan tiga dokter spesialis lainnya.
Bappenas menetapkan rasio ideal dokter spesialis adalah 0,28 dokter spesialis per 1.000 penduduk. Kementerian Kesehatan menemukan bahwa Indonesia saat ini kekurangan 18.752 dokter spesialis.
Kekurangan terbesar justru ditemukan pada dokter spesialis dasar yang dibutuhkan di semua rumah sakit seperti kebidanan, kandungan atau ginekologi, kesehatan anak, dan penyakit dalam. Kekurangan dokter kandungan bahkan mencapai 3.941 dokter.
Masalah Distribusi atau Produksi?
Jika melihat tiap daerah, jumlah dokter spesialis masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. DKI Jakarta memiliki 10.137 dokter spesialis, Jawa Timur 7.725 dokter spesialis, Jawa Barat 7.235 dokter spesialis, dan Jawa Tengah 5.017 dokter spesialis.
Meskipun populasinya lebih kecil, DKI Jakarta memiliki dokter spesialis terbanyak. Hal ini membuat rasio dokter spesialis di Jakarta menjadi 0,78 dokter per 1.000 penduduk. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain.
Namun distribusi yang tidak merata ini bukan satu-satunya masalah. Dokter spesialis cenderung menolak praktik di luar Jawa karena minimnya fasilitas dan peralatan medis di luar Jawa.
Misalnya fasilitas pelayanan stroke. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan hanya ada 19 rumah sakit umum pemerintah yang memiliki layanan ini di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya layanan empat tak yang berlokasi di luar Sumatera, Jawa, dan Bali.
Bahkan, prevalensi stroke di luar ketiga pulau tersebut juga tinggi. Prevalensi stroke rata-rata di Kalimantan, misalnya, adalah 12,4%. Walaupun belum ada RS pemerintah yang memiliki pelayanan stroke di Kalimantan.
Masalah lain adalah kurangnya lulusan pendidikan kedokteran. Saat ini, hanya 20 dari 92 fakultas kedokteran yang menawarkan program pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Tidak hanya kekurangan fakultas, produksi dokter spesialis dari 20 fakultas tersebut juga masih rendah. Selain itu, hanya ada 12 daerah yang mampu menghasilkan dokter spesialis di Indonesia.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat ada 1.999 lulusan dokter spesialis di Indonesia pada tahun 2021. Jumlah lulusan ini hanya 10,7% dari kekurangan dokter spesialis yang tercatat Kementerian Kesehatan.
Tidak hanya jumlahnya yang minim, lulusannya mayoritas berada di Pulau Jawa. Hampir 70% dari total lulusan kedokteran berasal dari kampus-kampus di Pulau Jawa.
Sedikitnya jumlah lulusan kedokteran membuat dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memenuhi persyaratan sesuai Permenkes 56/2014. Kementerian Kesehatan memperkirakan dibutuhkan waktu antara tujuh hingga 36 tahun untuk memenuhi target dokter spesialis. Perbedaan periode ini tergantung dari jenis dokter spesialisnya.
Kementerian Kesehatan berupaya menambah kuota mahasiswa setiap dosen untuk mengatasi masalah ini. Saat ini rasio 1 dosen dengan 3 mahasiswa (1:3) akan dinaikkan menjadi 1 banding 5. Jumlah dosen juga direncanakan akan ditambah dua kali lipat dari saat ini.
Perubahan skema tidak secara otomatis memotong waktu penarikan dokter spesialis. Meski waktu pemenuhan bisa dipersingkat, simulasi Kementerian Kesehatan menunjukkan pemenuhan kebutuhan dokter spesialis masih membutuhkan waktu hingga 8 tahun dengan rencana skema baru ini.
Budi juga mengungkapkan rencana penambahan fakultas kedokteran untuk pendidikan dokter spesialis di setiap provinsi. “Kalau kita buka (FK ahli) di Papua, mungkin mereka mau tinggal (di Papua) jauh lebih besar dari orang Surabaya, kami harus mengirim mereka ke Papua,” katanya.