Kemiskinan ekstrim atau kemiskinan absolut adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, air minum, kebersihan, kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal. Pemerintah bertujuan untuk menghapuskan orang yang sangat miskin pada tahun 2024.
Bank Dunia mengkategorikan kemiskinan ekstrem sebagai situasi di mana orang membelanjakan paritas daya beli (PPP) di bawah US$1,9 per hari. Dalam rupiah, nilainya setara dengan Rp11.941 pada 2021, naik tipis dibandingkan Rp10.196 pada 2017.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikutip Bank Dunia, terdapat 5,98 juta orang dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2021. Jumlah ini setara dengan 2,16% dari total penduduk.
Angka kemiskinan ekstrim lebih rendah dari angka kemiskinan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan sebanyak 27,54 juta jiwa atau 10,14% dari total jumlah penduduk pada waktu yang sama. Pada Maret 2022, angka itu turun menjadi 9,54%.
Penduduk yang mengalami kemiskinan tersebar di seluruh wilayah. Rasio terhadap jumlah penduduk terbesar terdapat di Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Jika melihat angkanya, Jawa Barat memiliki penduduk miskin paling ekstrim, mencapai 1,77 juta orang. Disusul Jawa Timur dan Jawa Tengah masing-masing 1,74 juta orang dan 1,52 juta orang.
Dilihat dari daerah pemukiman, 61,41% kemiskinan ekstrim berada di daerah pedesaan. Dan hanya 38,59% yang tinggal di perkotaan.
Bank Dunia menilai Indonesia sebagai salah satu negara yang mampu menurunkan angka kemiskinan ekstrim tertinggi. Krisis ekonomi 1997-1998 menyebabkan angka kemiskinan absolut melonjak menjadi 63,16%. Selama 2000-2015, Indonesia berhasil mengurangi kemiskinan ekstrim rata-rata 2,1% per tahun.
Jadi apakah penduduk yang menderita kemiskinan ekstrim akan dihilangkan? Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, meski jumlahnya relatif kecil, tidak menjamin kemiskinan akan mudah diatasi.
“Ini adalah kerak piramida kemiskinan. Karena berkerak, pengungkitnya membutuhkan tambahan sumber energi,” ujarnya seperti dikutip dari situs Kemenko PMK.
Ada tiga cara yang dilakukan pemerintah. Pertama, memberikan bantuan sosial dan subsidi. Kedua, pemberdayaan masyarakat. Ketiga, pembangunan infrastruktur pelayanan dasar.
Pengaruh Perubahan Harga Pangan
Dilihat dari garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS, pengeluaran makanan memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan pengeluaran bukan makanan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga pangan dapat menimbulkan guncangan terutama bagi masyarakat miskin.
Bisa dibayangkan, pengeluaran orang miskin yang tidak mampu mencapai Rp 12.000 hanya cukup untuk membeli 1 kg beras. Uang sebanyak itu tidak cukup untuk membeli satu liter minyak goreng.
Menurut laporan BPS, laju inflasi tahunan Juli 2022 sebesar 4,94%, tertinggi sejak Oktober 2015. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami inflasi tahunan terbesar sebesar 9,35%.
Berdasarkan data, selain fokus pada bansos dan subsidi, pemerintah juga perlu menjaga rantai pasok untuk menjaga stabilitas harga.
Selain itu, yang juga penting adalah memastikan perekonomian terus tumbuh. Seperti yang dapat dilihat dari grafik di bawah ini, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin rendah tingkat kemiskinan.
“Meski bukan satu-satunya faktor penentu, perubahan angka kemiskinan di Indonesia mengikuti pertumbuhan ekonomi cukup dekat,” kata Hal Hill, ekonom dari Australian National University, dikutip dari artikel “What Happened Poverty and Inequality in Indonesia over Half a Century ?”