liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Rapor Merah Korupsi Partai Politik Berkuasa di Indonesia

Rapor Merah Korupsi Partai Politik Berkuasa di Indonesia

4 minutes, 39 seconds Read

Menteri dan anggota DPR yang terjerat kasus korupsi bukanlah berita baru di Indonesia. Dalam setiap periode pemerintahan, selalu saja ada pejabat negara yang tertangkap tangan dalam operasi tangkap tangan (OTT) atau ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Berdasarkan catatan katadata.co.id, ada delapan menteri yang berafiliasi dengan partai politik dan 44 anggota DPR yang dinyatakan bersalah melakukan korupsi dalam 20 tahun terakhir. Rinciannya, satu menteri dan 9 anggota DPR pada 2004-2009, kemudian tiga menteri dan 10 anggota DPR pada 2009-2014.

Dua menteri dan 22 anggota DPR juga ditetapkan sebagai tersangka selama 2014-2019. Sementara itu, jumlahnya tercatat turun signifikan pada periode saat ini. Dua menteri dan tiga anggota DPR diduga terlibat korupsi sejak 2019 hingga Maret 2023.

Mayoritas kasus korupsi berupa penerimaan suap dan penghargaan atau penyalahgunaan jabatan dan anggaran. Beberapa hal dilakukan secara berjamaah, baik antar anggota DPR, antara menteri dan anggota DPR, maupun dengan pihak dari lembaga atau perusahaan lain.

Jika dilihat berdasarkan partai politik, Partai Golongan Karya (Golkar) menyumbang jumlah terbesar yakni 13 orang. Sebanyak 10 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), termasuk kasus korupsi pengadaan e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto.

Kemudian, disusul Partai Demokrat dengan 11 orang. Sebanyak sembilan orang dari jumlah itu menjadi tersangka pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Misalnya, kasus korupsi pembangunan sarana olahraga di Hambalang dan pembangunan Sports Village di Palembang.

Menteri dan anggota DPR dari Golkar dan Demokrat menjadi tersangka paling banyak dalam kasus korupsi ketika kedua partai itu menguasai kursi eksekutif dan legislatif di Indonesia.

Demokrat menjadi partai pemenang pemilu 2009 dan melantik SBY sebagai presiden. SBY kemudian menunjuk enam menteri dari Demokrat untuk mengisi kabinetnya. Jumlah tersebut paling banyak dibandingkan dengan partai politik lainnya.

Tak hanya itu, sebanyak 148 orang dari Demokrat masuk DPR atau sekitar 26,4% dari total kursi parlemen periode 2009-2014. Partai politik yang berkoalisi dengan Demokrat juga meraih 49,1% kursi di DPR.

Namun, dalam kurun waktu itu, dua menteri dan enam anggota DPR dari Partai Demokrat menjadi tersangka kasus korupsi.

Selain itu, meski bukan pemenang pemilu 2014, Golkar memiliki 91 kursi atau setara dengan 16,3% dari total kursi DPR periode 2014-2019. Partai Beringin akhirnya bergabung dengan pemerintahan koalisi yang menguasai 52,6% kursi parlemen.

Setelah berkoalisi, Golkar juga mendapat jatah tiga menteri di kabinet Jokowi. Jumlah ini sama dengan Parti Kebangkitan Negara (PKB) dan terbanyak kedua di antara partai politik lainnya.

Pada periode yang sama, seorang menteri dan tujuh anggota DPR dari Golkar ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi.

Maraknya pola korupsi saat memegang kekuasaan di Demokrat dan Golkar sejalan dengan pernyataan sejarawan Inggris John Dalberg-Acton bahwa mereka yang berkuasa cenderung korup. Artinya, orang yang memiliki kekuasaan dapat menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan dirinya sendiri.

Profesor emeritus di University of Wollongong Brian Martin mengatakan hal yang sama, dalam bukunya Pelepasan Informasi (1998). Menurutnya, politisi awalnya ingin mengubah sistem, membantu orang miskin, dan memberantas korupsi.

Namun, ketika mereka mendapatkan posisi, posisi, dan kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di perusahaan, “slogan lama tinggal kenangan,” tulis Martin.

Prioritas politisi telah berubah. Itu tidak lagi membela masyarakat, tetapi memberi penghargaan dan mengikuti mereka yang berkuasa. Sebab, mereka juga ingin menambah kekuasaan dan kekayaannya sendiri.

Karena itu, dominasi Demokrat atau Golkar dalam koalisi pemerintahan di eranya masing-masing membuat mereka memiliki kekuatan, pengaruh, dan peluang yang lebih besar dibandingkan partai politik lainnya. Beberapa anggota kemudian menggunakannya untuk memperkaya diri melalui korupsi.

Lalu, bagaimana dengan PDI Perjuangan yang kini menjadi partai penguasa eksekutif dan legislatif di Indonesia?

Partai sapi moncong putih menempatkan Jokowi sebagai presiden periode 2019-2024. Ia memilih lima anggota PDI Perjuangan untuk menduduki jabatan menteri di kabinetnya. Jumlah itu tentu yang paling banyak dibandingkan partai politik lainnya.

PDI Perjuangan juga berhasil membawa 128 kadernya ke DPR atau setara dengan 22,3% dari total kursi parlemen pada periode yang sama. Persentase ini belum ditambah dengan partai koalisi yang memiliki 59,7% kursi di parlemen.

Namun, hanya satu menteri dari PDI Perjuangan yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi 2019 hingga Maret 2023. Pola relasi kuasa dan korupsi di partai Megawati juga berbeda dengan yang terjadi di Golkar dan Demokrat periode sebelumnya.

Selain PDI Perjuangan, jumlah anggota DPR dari partai politik lain yang diduga melakukan korupsi juga menurun drastis pada periode ini. Namun, ini bukan hanya prestasi para wakil rakyat. Pasalnya, parlemen yang mayoritas diisi pemerintahan koalisi memfasilitasi pembahasan dan konfirmasi beberapa agenda sesuai kepentingan kelompok tersebut, termasuk soal pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menjelang akhir masa jabatan pertamanya, Jokowi dan DPR sepakat mengesahkan UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, hanya dalam waktu dua minggu. Dalam aturan baru, KPK akan masuk ke dalam kelompok eksekutif. Komisi ini bertanggung jawab kepada presiden melalui dewan pengawas yang juga dipilih oleh Jokowi sendiri.

Menurut pakar hukum tata negara Denny Indrayana, perubahan ini menjadi pintu gerbang kontrol lembaga eksekutif terhadap KPK, sebagaimana dilansir situs Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tahun 2020. Praktik seperti ini belum pernah ditemukan dalam penegakan hukum. di negara Lain.

Labib Muttaqin dan Muhammad Edy Susanto (2018) dalam artikel “Menilai Balasan Koruptor Terhadap KPK dan Strategi Penanggulangannya” di jurnal tersebut. Integritas juga mengatakan bahwa keberadaan dewan pengawas di komisi antikorupsi hanya akan “melemahkan independensi KPK”.

Tak hanya itu, sebagai bagian dari lembaga eksekutif, DPR juga dapat menggunakan hak penyidikan untuk melakukan penyidikan terhadap KPK, hanya untuk memenuhi kepentingan anggota DPR.

Itu terjadi ketika DPR mengajukan hak angket terhadap KPK pada 2017, bahkan sebelum KPK menjadi bagian eksekutif. Hak penyidikan bertujuan untuk meminta Komisi Pemberantasan Korupsi membuka rekaman pemeriksaan anggota DPR Hanura Miryam S. Haryani terkait kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Meluncurkan Kompas.comKomisi III Dewan Rakyat ingin mengetahui nama anggota komisi yang menurut Miryam menekannya hingga mencabut berita acara pemeriksaan (BAP).

Lebih lanjut, Labib dan Edy berpendapat, revisi UU KPK termasuk bentuk serangan balik korupsi terhadap KPK. Pasalnya, peninjauan kembali tersebut semakin mempengaruhi kewenangan KPK untuk mengusut kasus korupsi di Indonesia.

Similar Posts