Ancaman resesi melanda dunia. Sejumlah lembaga internasional menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara maju. Indonesia juga bisa terseret ke dalam perlambatan ekonomi tahun depan. Padahal, baru saja mengalami resesi akibat pandemi Covid-19.
Laporan Bank Dunia “Apakah Resesi Global Akan Datang?” dirilis pada September 2022 memproyeksikan skenario pertumbuhan ekonomi dunia. Bank Dunia mengatakan ada potensi perlambatan dan kemungkinan ekonomi global jatuh ke dalam resesi pada tahun 2023. Mereka mengukur resesi dengan kontraksi tahunan dalam produk domestik bruto (PDB) per kapita.
Dalam skenario resesi, PDB per kapita global diproyeksikan berkontraksi sebesar 0,4% pada 2023 dari tahun sebelumnya. Untuk negara maju, kontraksi tahunan diproyeksikan lebih dalam, yakni 0,8%. Di sisi lain, pertumbuhan di negara berkembang diperkirakan melambat.
Ancaman resesi muncul ketika negara-negara di dunia termasuk Indonesia masih berusaha untuk pulih dari resesi masing-masing yang dipicu oleh pandemi Covid-19.
(Baca: Badai Resesi Global Datang, Mampukah Indonesia Bertahan?)
Kekhawatiran akan terjadinya resesi global muncul menyusul memburuknya prospek pertumbuhan ekonomi, khususnya di Amerika Serikat, China dan kawasan Euro. Sementara itu, pemerintah di berbagai negara juga melakukan pengetatan kebijakan, baik fiskal maupun moneter, untuk mengendalikan kenaikan harga barang dan jasa konsumsi.
Jika pengetatan kebijakan moneter tidak cukup untuk mengendalikan inflasi, Bank Dunia memperkirakan bahwa pengetatan lebih lanjut akan diperlukan. “Ini dapat menambah tekanan finansial yang signifikan dan memicu resesi global pada 2023,” tulis Bank Dunia.
(Baca: Era Suku Bunga BI Rendah Telah Berlalu, Sambut Musim Inflasi)
Sejak tahun 1970, dunia telah mengalami setidaknya lima kali resesi pada tahun 1975, 1982, 1991, 2009, dan 2020. Ada berbagai faktor yang terjadi baik secara bersamaan maupun sebelumnya. Faktor-faktor ini termasuk krisis keuangan, perubahan kebijakan besar, pergerakan harga minyak yang tiba-tiba, dan epidemi.
Setiap kali dunia mengalami resesi, pertumbuhan PDB Indonesia cenderung melambat (lihat grafik). Saat resesi global 1975, misalnya, ekonomi Indonesia tumbuh 5,61% dari tahun sebelumnya. Ini lebih lambat 1,62 poin dari realisasi tahun 1974.
Dalam “Reforms for Recovery” yang dirilis pada September 2022, Bank Dunia telah memproyeksikan pertumbuhan PDB tahunan Indonesia sebesar 5,1% untuk tahun 2022 dan 2023. Namun, belum jelas apakah hal tersebut telah memperhitungkan potensi resesi global pada tahun 2023.
Dalam skenario resesi, pengetatan kondisi keuangan global akan memukul negara-negara berkembang yang memiliki defisit transaksi berjalan besar dan sangat bergantung pada aliran masuk modal asing. Negara-negara dengan utang jangka pendek yang berat atau beban mata uang asing, baik publik maupun swasta, juga akan sangat terpengaruh.
Indonesia tampaknya tidak menunjukkan ciri-ciri tersebut. Indonesia masih mencatat surplus transaksi berjalan yang diperkirakan sebesar 1,14% dari PDB pada periode April-Juni 2022. Porsi kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) yang dapat diperdagangkan hanya sebesar 14,23% per Senin 3 Oktober 2022.
Namun, Bank Dunia memproyeksikan bahwa pertumbuhan perdagangan dunia dapat melambat secara drastis dalam skenario resesi global. Perdagangan global diproyeksikan tumbuh 1,2% pada 2023, lebih lambat dari 5,4% pada 2022.
(Baca: Krisis Energi Berkah Bagi Produsen Batu Bara)
Bank Dunia menambahkan, perlambatan permintaan dari luar negeri dapat menambah tekanan pada negara berkembang pengekspor komoditas. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan harga komoditas.
Ini membayangi Indonesia, yang ekspor barangnya tumbuh dua digit setiap tahun di tengah ledakan komoditas. Kinerja ekspor pada paruh kedua 2022 bisa melemah jika permintaan eksternal melemah, menurut ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman. Meski begitu, Indonesia masih diproyeksikan mencatat surplus transaksi berjalan hingga 0,45% dari PDB tahun ini.