Sejak menjabat, Presiden Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi langsung tancap gas memulai proyek infrastruktur strategis. Anggaran infrastruktur juga meningkat tajam. Masalahnya, kontraktor proyek infrastruktur kini terlilit utang besar akibat ambisi itu.
Jokowi langsung menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi saat menjabat. Pasalnya, anggaran subsidi BBM bisa dialihkan ke posisi lain yang lebih penting, salah satunya infrastruktur.
“Negara membutuhkan anggaran untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Anggaran ini tidak ada karena terbuang untuk subsidi BBM,” katanya pada 2014 lalu.
Anggaran infrastruktur juga meningkat di bawah Jokowi. Sebelumnya, pos anggaran tidak pernah melebihi Rp 200 triliun pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Di bawah Jokowi, tembus Rp 403,3 triliun pada 2021.
Hasilnya bisa dilihat, salah satunya dari pembangunan jalan tol. Jokowi menjadi presiden dengan pembangunan jalan tol terlama dibandingkan presiden lainnya.
Mengutip data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), ada 1.569,17 km jalan tol yang dibangun selama kepemimpinannya. Ini merupakan 63% dari total 2.499,06 km jalan tol di Indonesia.
Beban Ekor Ambisi
Meski begitu, ambisi pembangunan besar-besaran ini ternyata berbuntut panjang bagi badan usaha milik negara di bidang konstruksi atau yang dikenal dengan BUMN Karya.
Ada lima BUMN Karya yang kinerjanya bisa dilihat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kelimanya adalah PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI), PT Hutama Karya (Persero) (PTHK), PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP), PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA).
Hingga semester I-2022, total kewajiban atau utang kelima BUMN Karya itu mencapai Rp 282,68 triliun. WSKT memiliki utang terbesar Rp77,2 triliun, disusul PTHK Rp73,8 triliun.
Waskita menjadi kontraktor utama proyek jalan tol di era Jokowi. Pada 2017, sekitar 90% dari target jalan tol baru sepanjang 1.260 km menjadi tanggung jawab Waskita.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo pernah menjelaskan penugasan dari pemerintah menjadi salah satu penyebab membengkaknya utang Waskita Karya. Soalnya, penugasan pemerintah tidak disertai penyertaan modal negara (PMN) sehingga perusahaan menggunakan pembiayaan sendiri.
Padahal pembangunan tol membutuhkan dana besar seperti Trans-Sumatera yang menelan biaya Rp 27,8 triliun. Alhasil, utang Waskita membengkak karena membutuhkan pembiayaan perbankan untuk menyelesaikan proyek tersebut.
“Jadi naik empat kali lipat, jauh banget karena jalan tolnya sudah siap khususnya,” kata pria yang biasa disapa Tiko itu saat rapat dengan DPR tahun 2021.
Tol yang dikerjakan Waskita antara lain tol Trans Jawa dan Sumatera. Sebagian jalan tol juga mangkrak proyek jalan tol yang dibeli dari pihak swasta, sehingga menambah kebutuhan biaya. Total, Waskita mengakuisisi 12 ruas tol tertutup dari swasta sejak 2015 hingga 2017.
Hutama Karya juga mendapat penugasan khusus untuk sebagian besar ruas tol Trans-Sumatera. Berbeda dengan Waskita Karya, Hutama Karya rutin mendapatkan PMN untuk penyelesaian proyek.
Hal inilah yang membuat kondisi PTHK relatif sehat jika dibandingkan dengan Waskita meski memiliki utang terbesar kedua di antara BUMN Karya. Kondisi PTHK yang sehat juga terlihat dari debt to equity ratio (DER) PTHK yang lebih sehat dibandingkan BUMN Karya lainnya.
Di sisi lain, Adhi Karya memiliki rasio paling tidak sehat meski memiliki utang paling kecil. Sama halnya dengan Waskita, hal ini disebabkan pembiayaan proyek menggunakan utang.
Direktur Utama ADHI Entus Asnawi Mukhson mengatakan pembiayaan awal proyek tol Banda Aceh-Sigli menggunakan utang. “Karena awalnya dana Banda Aceh-Sigli juga tidak ada,” ujarnya di Komisi IX DPR pada September 2022.
Selain itu, kata Entus, pembangunan proyek LRT Jabodebek juga menyebabkan DER perseroan menjadi tidak sehat. Perusahaan baru itu menerima Rp 16 triliun dari total Rp 19,1 triliun, berdasarkan kontrak proyek yang seharusnya dibayar setiap tiga bulan.