Simpanan di perbankan mencapai Rp7.628 triliun pada Juli 2022, atau meningkat 7% dalam setahun. Namun, kenaikannya tidak merata. Jumlah simpanan nasabah kaya semakin meningkat. Di sisi lain, pelanggan kecil justru menyusut.
Kesenjangan ini terlihat dari data penyaluran simpanan perbankan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jika dilihat dari kelompok penyimpan, lebih dari 50% berasal dari nasabah yang memiliki simpanan melebihi Rp5 miliar. Padahal grup ini hanya memiliki 124 ribu akun atau sekitar 0,03% dari total 491,5 juta akun.
Dalam satu dekade terakhir, porsi simpanan nasabah kelompok ini terus tumbuh, dari hanya 45% di tahun 2013. Di sisi lain, simpanan nasabah di bawah Rp 100 juta semakin kecil, meski jumlah rekeningnya bertambah. , mencapai 485 juta rekening atau 98,7% dari total rekening. (Lihat grafik).
Peningkatan jumlah rekening tersebut sejalan dengan program inklusi keuangan yang diterapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan menambah jumlah rekening bank diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi negara dan meningkatkan kesejahteraan.
(Baca: Total Penghasilan Menentukan Pengeluaran Kebutuhan Pokok)
Namun, jumlah rekening yang besar tidak mempengaruhi porsi simpanan kelompok nasabah di bawah Rp 100 juta. Pada Juli 2022, hanya Rp 978 triliun atau 12,8% dari total dana simpanan bank yang dimiliki oleh kelompok nasabah ini. Porsi itu juga menurun dibandingkan 15,7% pada 2013.
(Baca: Nasib buruh tergerus harga BBM dan dampak pandemi)
Jika dilihat dari saldo rata-rata, kelompok pemilik rekening di bawah Rp 100 juta hanya memiliki saldo Rp 2 juta per rekening. Nilai tersebut juga cenderung lebih kecil dibandingkan tahun 2013 yang rata-rata mencapai Rp 4,3 juta.
Sedangkan kelompok pemegang rekening di atas Rp5 miliar memiliki saldo rata-rata per rekening yang terus bertambah. Pada Juli 2022 mencapai Rp 31,6 miliar, sedangkan pada 2013 angkanya Rp 26,9 miliar.
Bhima Yudhistira, Direktur Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), mengatakan gap yang lebar terlihat pada simpanan bank karena kelompok berpendapatan tinggi memiliki pengetahuan keuangan yang lebih baik. Dia menilai program inklusi keuangan selama ini belum optimal.
Masalahnya, program admisi hanya bertujuan untuk mendorong kepemilikan akun di lembaga formal. “Bukan dari segi jumlah pinjaman produktif yang digunakan perorangan,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa, 20 September 2022.
(Baca: Beban Masyarakat Miskin Akibat Kenaikan Harga BBM dan Inflasi)
Lebih lanjut, menurutnya, masih terdapat kesenjangan pemahaman literasi keuangan. “Bahkan kalangan menengah ke bawah pun bingung tentang perencanaan keuangan, apalagi saat ekonomi sedang tertekan.”
Akibatnya, ketika krisis ekonomi melanda yang menyebabkan terbatasnya lapangan kerja dan kenaikan harga kebutuhan pokok, mereka harus menabung untuk bertahan hidup.