Indonesia telah menetapkan Zero Net Emissions (NZE) pada tahun 2060. Beberapa strategi yang dilakukan adalah melalui dekarbonisasi, transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT), mengembangkan kendaraan listrik, dan menerapkan pensiun dini batubara untuk pembangkit listrik. . .
Komitmen transisi energi Indonesia juga tercatat dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Bauran EBT akan didorong menjadi 23 persen pada tahun 2050 dalam proyek pembangkit listrik 35 GW.
Tekad Indonesia terhadap transisi energi juga didukung pendanaan sebesar US$ 20 miliar melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati pada Presidensi G20 Indonesia 2022.
Berdasarkan kajian Bank DBS berjudul Asian Insights SparX: Sektor Energi Indonesia, upaya dunia dan Indonesia dalam transisi energi harus dimanfaatkan oleh sektor bisnis. Pasalnya, laporan tersebut menyebutkan meski harga energi fosil naik akibat pandemi Covid-19 dan perang geopolitik Rusia-Ukraina, kenaikan tersebut bersifat sementara.
Menurut riset DBS, minat investor terhadap energi fosil rendah karena mereka lebih memilih berinvestasi di bisnis ramah lingkungan seperti EBT dan kendaraan listrik. Tak hanya itu, perbankan lebih memilih membiayai perusahaan di sektor energi yang siap mendiversifikasi usahanya ke arah yang lebih berkelanjutan.
Oleh karena itu, perusahaan perlu memanfaatkan masa transisi energi untuk mendiversifikasi bisnis energinya. Hal ini dilakukan melalui kerjasama dengan perusahaan EBT dan penguatan perencanaan menjadi strategi percepatan diversifikasi bisnis.